JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Sudah memasuki masa dua tahun lamanya, eks (bekas-red) warga Kampung Pulo, Jakarta Timur yang terkena normalisasi Kali Ciliwung, menempati atau direlokasi di Rusunawa Jatinegara Barat.
Sekilas tampak dari luar bangunan Rusunawa Jatinegara Barat itu, terlihat bagus dan sangat ideal. Terutama bagi mereka yang memang membutuhkan tempat tinggal atau berpindah ke Rusunawa tersebut, karena keinginan sendiri.
Namun begitu, dibalik indahnya bangunan tersebut justru berbanding terbalik bila melihat secara mendalam bagaimana kondisi para penghuninya. Terutama bagi mereka yang dulunya warga gusuran yang berpindah ke Rusunawa Jatinegara Barat, karena kondisi terpaksa.
“Saya malah mendengar dan melihat langsung, bagaimana keadaan di Rusunawa tersebut. Dua tahun mereka menempati Rusunawa ternyata masih banyak warga yang belum bisa beradaptasi dengan kondisi sekarang dan bahkan sebagian dari mereka masih menyimpan rasa luka yang mendalam akibat pengusuran dua tahun yang lalu,” kata Bang Dailaimi, sapaan akrab Senator DKI Jakarta, Prof Dr Dailami Firdaus.
Dipaparkan anggota DPD RI yang kerap terjun mendatangi warga atau masyarakat Jakarta, ternyata mereka masih mempertanyakan hak mereka yang pernah dijanjikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda), dimana awalnya para warga setempat atau korban penggusuran (relokasi) bakal mendapat pergantian, namun kenyataannya berubah menjadi tidak dapat sama sekali dan harus segera mengosongkan rumah tinggalnya.
“Saat ini, warga Rusunawa Jatinegara Barat sebagai eks warga Kampung Pulo merasa berat dengan peraturan-peratutan yang ada didalam Rusunawa tersebut. Banyak warga yang menunggak pembayaran sewa dan bahkan nilainya secara keseluruhan sangat luar biasa sekitar Rp 1 milyaran,” tegas Bang Dailami.
Biaya sewa, menurut pria asli Betawi tersebut, memang sepertinya sangat terjangkau bila melihat nilainya. “Namun kita harus memahami bahwasannya mereka terpaksa dan dipaksa untuk menghuni Rusunawa tersebut, jadi bukan dasar keinginan. Ketika tempat berteduh dan bercengkarama mereka bersama keluarga dan tetangga dihancurkan, maka mau tidak mau dan suka tidak suka mereka harus berpindah ke Rusunawa, dikarenakan mereka tidak mendapat pengantian dari Pemerintah Daerah,” ucap dia.
Dalam pandangan Bang Dailami, justru disaat mereka sedang kesusahan bukan solusi yang hadir. Tapi datangnya tekanan dari pihak pengelola, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Seharusnya dalam kondisi seperti ini, pihak Pemprov DKI Jakarta harus bijak. Usia produktif bukan berarti jaminan mampu bekerja dan harus diingat itu. Bagaimana ketersediaan lapangan kerja terbatas, lihat kebelakang sebelum mereka dipindahkan ke Rusunuwa, apa mata pencahariannya dan berapa pendapatannya? Jangan disamakan saat mereka berada di Rusunawa sekarang,” papar Bang Dailami, panjang lebar.
Karena itu, Pemprov DKI Jakarta dimita harus memiliki terobosan untuk mengatasi permasalahan ini. Sebab, banyak sekali permasalahan yang sederhana namun sepertinya dibiarkan menjadi laten dan akhirnya menjadi tanpa solusi dan selalu menyudutkan warga.
“Dalam waktu dekat ini, saya berharap Pemprov DKI Jakarta dan warga bisa duduk bersama mencari jalan keluar. Saya pun siap menginisiasi dan memediasi. Jangan alergi dengan warga dan bosan atau menutup mata serta telingga untuk maupun ketika mendengar keluhan warga,” pintanya.
Permasalahan yang muncul saat ini, kata Bang Dailami, akan menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus dicarikan solusinya terutama bagi Pemimpin Jakarta nantinya. “Pada saat kita menyambut kemerdekaan dengan gegap gempita, ternyata justru kita menjadi pihak yang mencabut dan merengut kemerdekaan warga masyarakat kita sendiri. Jadi, saya melihatnya sebagai sesuatu yang sangat aneh dan lucu,” tutup Bang Dailami. □ Red/Goes