OLEH : TONY ROSYID
ADA pengamat yang bilang bahwa rakyat terbelah sejak Pilpres 2014 lalu. Rivalitas politik Jokowi-Prabowo membuat ‘polarisasi‘ dua kubu di masyarakat. Lantas, benarkah polarisasi itu sendiri lahir pada tahun 2014? Apakah polarisasi itu akibat rivalitas politik Jokowi dengan Prabowo yang terjadi karena dua kali penyelenggaraan Pilpres? Yakni di 2014 dan 2019 lalu.
Pada 2014 sebelumnya, Jokowi terpilih jadi Presiden RI. Usai Pemilu, sempat ramai. Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai demo. Sedikit gaduh. Usai diketuk palu, suasana mulai kondusif. Jokowi jadi Presiden, suasana berangsur pulih.
Artinya, apa? Persaingan politik Jokowi-Prabowo di Pilpres 2014 selesai sudah. Masyarakat tak terbelah. Para pendukung kedua belah pihak kembali ke dunia masing-masing. Hiruk pikuk politik berhenti sampai disitu. Kecuali mereka yang mengaku timses dan berjasa di masa kampanye. Kasak kusuk cari peluang.
Hingga di kemudian hari, kasus ‘penistaan agama’ muncul. Aktor utamanya adalah Ahok. Posisi saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kasus Ahok menggegerkan Indonesia. Bahkab jadi issue nasional. Suasana seketika gaduh dan bahkan cenderung tegang. Terutama setelah demo atau adanya Aksi 411 dan 212. Puncak kegaduhan terjadi jelang Pilgub DKI. Sebagian pendemo curiga ada peran Istana di belakang Ahok.
Ahok pun ‘keok‘ di ajang Pilgub. Kasus penistaan agama diproses di pengadilan dan Ahok divonis dua tahun penjara. Begitu juga nasib sejumlah aktifis 411 dan 212, sebagian dari mereka harus juga berurusan dengan hukum. Dari sini, ketegangan makin menjadi-jadi. Kegaduhan nasional semakin tinggi eskalasinya.
Ahok kalah, lalu dipenjara, dan sejumlah pendemo Ahok jadi tersangka. Inilah pemicu kegaduhan dan ketegangan itu.
Kegaduhan berlanjut sampai Pilpres 2019. Perkumpulan ulama yang menamakan diri Ijtima Ulama memutuskan untuk mendukung Prabowo nyapres lawan Jokowi di 2019. Dalam konteks ini, Prabowo dijadikan Capres. Tak lebih dari itu. Prabowo bukan icon. Perlawanan politik tetap dikendalikan oleh para tokoh di luar lingkaran Prabowo.
Prabowo kalah, lalu gabung di kabinet Jokowi. Sampai disini, apakah ketegangan dan keterbelahan masyarakat berakhir? Apakah rekonsiliasi antar pendukung terjadi? Ternyata tidak! Sama sekali tidak. Ini membuktikan bahwa Prabowo bukan icon dan bukan juga pengendali perlawanan politik terhadap kekuasaan.
Dengan begitu, maka faktor penyebab keterbelahan bukan disebabkan oleh rivalitas politik antara Jokowi dengan Prabowo. Bukan perseteruan para pendukung dua Capres itu. Tidak! Buktinya, ketika mereka bergabung dan melakukan rekonsiliasi, realitas masyarakat di bawah masih tetap terbelah.
Dalam teori sosial, ketegangan itu terjadi karena ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Faktor ketidakadilan akan selalu memicu ketegangan, sebelum pada akhirnya, jika tak terkendali malah bakal meledak jadi konflik sosial.
Jadi, ketegangan, keterbelahan dan kegaduhan selama ini, penyebab utamanya bukan karena rivalitas politik Jokowi versus Prabowo. Tapi lebih karena ada kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil.
Maka, aneh kalau ada yeng berpikir bahwa untuk mengurai keterbelahan rakyat perlu memasangkan Jokowi-Prabowo jadi Capres/Cawapres 2024. Tidak hanya aneh, tapi ini ngawur. Ngawurnya tingkat dewa. Usul ini muncul karena adanya kesalahan dalam memahami faktor penyebab keterbelahan yang terjadi di masyarakat.
Publik heran, kenapa ada yang mengusulkan Jokowi tiga periode? Alasan disandingkan dengan Prabowo untuk meredam kegaduhan, itu ngawur datanya. Cara berpikir yang menyesatkan.
Tahun 2019, Jokowi sendiri tegas menolak tiga periode. Kepikiran aja gak. Juga Menkopolhukan Mahfud MD menegaskan bahwa nggak ada itu tiga periode. Isu ini dianggap menjerumuskan Presiden.
Fakta sejarah mengungkap, semakin lama pemimpin berkuasa, maka umumnya akan semakin otoriter. Siapapun itu. Soekarno dan Soeharto, di awal pemerintahannya, cenderung demokratis. Tapi, semakin lama berkuasa, bahkan jadi Presiden seumur hidup, ternyata makin otoriter.
Yang jelas, tak boleh jabatan itu terlalu lama. Ini akan memicu terjadinya otoritarianisme. Selain proses regenerasi yang akan terganggu.
Justru sebaliknya, demokrasi akan terjaga jika Presiden cukup dua periode. Setelah 2024, hadirnya Presiden barunl yang frresh. Memiliki pola dan warna yang berbeda dalam mengelola Pemerintahan, maka justru ada peluang untuk mengakhiri polarisasi dan keterbelahan di masyarakat. Dengan begitu, kegaduhan bisa segera dihentikan. Jangan memperpanjang polarisasi, keterbelahan dan kegaduhan ini dengan gagasan atau ide, boleh 3 periode. (***)
(PENULIS adalah Pengamat Politik & Pemerhati Bangsa, tinggal di Jakarta)