OLEH : HANNOENG M. NUR
DI NEGERI kita tiba-tiba saja muncul wacana perubahan atas masa jabatan presiden: 3 x 5 tahun atau 1 x 8 tahun. Konon kabarnya wacana ini mencuat pertama kali digulirkan oleh beberapa anggota MPR-RI, yang tak jelas landasan hukum dan politiknya. Perubahan masa jabatan memang bisa saja terjadi, selama itu jelas urgensinya.
Di China, pada Maret 2018, Kongres Rakyat Nasional sepakat untuk menghapus masa jabatan presiden. Berdasarkan keputusan ini maka Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Masih pada tahun 2018, Vladimir Putin di Rusia juga memenangkan Pemilu untuk keempat kalinya setelah mengubah konstitusi. Beberapa negara berhaluan sosialis/komunis seperti Kuba dan Korea Utara juga mempraktikkan masa jabatan Presiden tak terbatas.
Bolivia juga telah mengubah masa jabatan Presiden dari sebelumnya maksimal tiga periode menjadi empat periode. Perubahan konstitusi ini menjadi alat Evo Morales untuk bertarung kembali pada pemilihan Presiden 2019. Namun berbeda dengan keberhasilan pemimpin sosialis lain, kekuatan rakyat dan militer bekerjasama mengagalkan Morales karena kecurangan Pemilu.
Kekhawatiran akan munculnya otoritarianisme melatarbelakangi pembatasan masa jabatan Presiden Indonesia. Rakyat Indonesia masih memiliki trauma kolektif yang kuat terhadap sistem kepemimpinan absolut Kepala Negara pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sistem pemerintahan otoriter di masa Soekarno, membuat ia bebas mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup, lalu Soeharto memanfaatkan kelemahan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal itu lemah di satu sisi karena tidak adanya batasan jumlah periode, sehingga Soeharto terpilih hingga enam periode. Praktik otoritarianisme Orde Baru inilah yang mendasari pentingnya membatasi masa jabatan Presiden melalui amandemen pertama UUD 1945 pada 1999.
Bill Gelfeld, professor Hubungan Internasional di Universidad San Francisco de Quito, Ecuador, dalam disertasinya yang berjudul “Preventing Deviations from Presidential Term Limits in Low and Middle Income Democracies”, menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana penyimpangan terhadap masa jabatan Presiden justru berdampak negatif. Pada enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia dan Tajikistan, ia mencatat, misalnya, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah masa jabatan presiden diperpanjang.
Pada Pemerintahan Presiden Soeharto yang berlangsung selama enam periode hal diatas memang tidak terjadi. Terbukti Pemerintahan Soeharto lebih mampu mensejahterakan rakyat dibandingkan Pemerintahan Soekarno. Namun, seperti dikatakan oleh Bill Gelfeld, aspek hak politik mengalami kemunduran setelah empat tahun perpanjangan masa jabatan Presiden dan aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran setelah 5-10 tahun.
Memandang hal diatas, maka sepantasnya wacana perubahan masa jabatan Presiden itu kita kubur. Dan, para politisi tak usahlah mengkambing-hitamkan rakyat dengan mengatakan bahwa “wacana perubahan masa jabatan Presiden merupakan aspirasi rakyat”. Jangan mengoyak demokrasi demi memenuhi hasrat kekuasaan. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)