OLEH : HANNOENG M. NUR
HARI minggu kemarin sebuah bom meledak di halaman sebuah gereja di Makassar. Ada korban dan kerusakan. Menyedihkan. Namun yang paling menyedihkan sebenarnya adalah masih adanya pikiran buruk si pelaku untuk menggunakan cara-cara teror demi mencapai sebuah tujuan. Di saat sulit seperti sekarang ini ternyata masih tersimpan hati dan pikiran buruk untuk menghancurkan apapun.
Sejatinya terorisme itu tak ada hubungan apapun dengan agama tertentu. Bahwa pelakunya adalah orang yang berafiliasi dengan kelompok atau penganut agama tertentu, itu bukan lantas menjadi justifikasi bahwa tindakan terornya adalah berdasar pada agama yang dianutnya. Ada banyak tindakan terorisme yang berlangsung bukan atas nama agama. Di negara-negara Barat, dimana terorisme seringkali diidentikkan dengan Agama Islam, bahkan terdapat kelompok-kelompok teror yang justru jauh lebih kejam dibandingkan dengan (meminjam istilah kalangan barat) “Teroris Islam”.
Terorisme sesungguhnya merupakan suatu gejala kekerasan yang sudah ada semenjak adanya kebudayaan manusia. Gejala tersebut ditengarai telah terjadi pada Jaman Yunani Kuno, Jaman Romawi Kuno dan pada abad pertengahan. Kata terorisme yang berasal dari Bahasa Prancis “le terreur”, untuk menyebut tindakan pemerintahan hasil Revolusi Prancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan untuk menindas kegiatan anti Pemerintah.
Diperkirakan, sebanyak 40.000 orang mati dipenggal dengan menggunakan guillotine karena dituduh sebagai anti revolusi. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya terorisme itu akarnya justru bukanlah dari negara-negara Islam, tetapi dari negara-negara yang sekarang dianggap maju.
Ada beberapa catatan penting tentang kelompok teroris di negara-negara maju, dimana penganut Islam-nya justru adalah minoritas dan bahkan seringkali menjadi sasaran atau target dari kelompok-kelompok teroris itu. Pada Bulan Maret 2019, seorang pria secara ekstrem dengan senjata apinya mengamuk di sebuah masjid di Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 51 orang. Lalu ada juga kelompok Neo Nazi di Eropah (terutama di Jerman), yang pada musim pandemi COVID-19 ini menyerukan kepada seluruh anggotanya yang tertular virus Corona untuk menularkan virus tersebut kepada setiap warga Muslim yang mereka temui.
Jika kita melihat perkembangan terorisme di Eropah dan negara-negara maju lain, maka segera terasakan bahwa betapa aktivitas mereka sangat luar biasa kejamnya. Provisional Irish Republican Army (PIRA atau Tentara Republik Irlandia Sementara), atau biasa disingkat “Provo” oleh sejumlah media Barat, tercatat hingga tahun 2001, bertanggungjawab atas kematian 1.800 orang lebih selama konflik di Irlandia Utara. Jumlah yang luar biasa besarnya dibandingkan dengan korban yang terjadi akibat tindakan teror lain. Atau juga kelompok Brigade Merah (Brigate Rosse dalam bahasa Italia) di Italia. Pada tahun 1978, grup ini menculik Perdana Menteri Italia, Aldo Moro.
Di Jepang ada yang hebat juga, yaitu Japanese Red Army. Kelompok ini spesialisasinya menyerang kedutaan besar dan pembajakan pesawat. Uniknya, aktivitas mereka lebih banyak terpusat di Lebanon, bukan di Jepang. Kelompok ini didirikan oleh seorang perempuan bernama Fusako Shigenobu. Kekejaman kelompok ini sangat terkenal di seluruh dunia. Mungkin mendekati kelompoknya Baader Meinhof di Jerman.
Dari data diatas rasanya bisa disimpulkan bahwa tindakan terorisme itu tak ada hubungan sama sekali dengan agama tertentu, terlebih Islam. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang menyerukan tindakan terorisme bagi seluruh pengikutnya. Bahwa kemudian ada beberapa kelompok teroris yang mengatas-namakan agama, maka itu adalah soal penafsiran yang keliru atas ajaran yang mereka dapat.
Jadi, soal terorisme itu adalah soal kejahatan pikiran dan hati pelakunya, bukan kejahatan agama. Dengan demikian, tindakan terorisme bisa lahir dari siapa pun yang berpikir dan berhati jahat, entah ia penganut Islam, Kristen, Hindu, Buddha, bahkan yang tak beragama sekali pun. Yang pasti, tidak ada tempat bagi tindakan terorisme dimana pun, termasuk di Indonesia. Terorisme itu mengkhianati nilai-nilai agama, moralitas dan kebangsaan. (***)
(PENULIS adalah REDAKTUR SENIOR di POSBERITAKOTA)