DEPOK (POSBERITAKOTA) – Di dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ada satu gejala yang kurang menguntungkan, yaitu makin termajinalkannya atau terpinggirkannya Islam. Wakil Gubernur Jawa Barat H. Ruhzanul Ulum, SE, meyakini hal tersebut berdasarkan pengamatannya.
“Secara data faktual, kita lihat saja hasil sensus. Pada saat awal kemerdekaan Indonesia, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah 99 persen, tetapi pada sensus terakhir jumlah pemeluk Islam turun secara prosentase, yaitu 85 persen,” kata Wagub Jabar yang biasa disapa Uu ini, di Depok, Sabtu pekan lalu.
Menurut Uu, hal tersebut bisa terjadi karena tidak terjadinya penyatuan kekuatan Islam dengan elemen-elemen penting lain. Ia mencontohkan bagaimana dahulu di zaman Rasulullah Muhammad SAW, Islam begitu kuatnya di Madinah.
“Di zaman Rasulullah, Islam menjadi begitu kuat karena terjalinnya sebuah kerjasama antara tiga kekuatan, yaitu kekuatan akidah, kekuatan diasah dan kekuatan muamalah. Rasulullah Muhammad itu menjadi role modelnya, beliau ahli agama, beliau ahli politik sekaligus juga ahli usaha atau dagang,” ujar Uu yang sejak tahun 2018 mendampingi Gubernur Ridwan Kamil memimpin Jawa Barat.
Tiga kekuatan yang dimaksud oleh Uu adalah kekuatan akidah atau tarbiyah (ahli agama), kekuatan siasah (politik atau kekuasaan) dan kekuatan muamalah (ekonomi atau bisnis). Uu meyakini bahwa Islam akan makin berkembang saat ketiga kekuatan itu dijalankan oleh Umat Islam di Indonesia.
Keengganan kalangan tarbiyah untuk terlibat di urusan politik dirasakan oleh Uu masih sangat kuat. Setidaknya, ia punya pengalaman pribadi tentang hal tersebut.
“Ketika saya memulai kampanye untuk pemilihan Gubernur Jawa Barat, saya datang ke seorang kyai pengasuh pesantren. Saya uraikan niat saya, motivasi saya, tekad saya, sekaligus meminta dukungan sang kyai. Tapi Pak Kyai itu hanya mengatakan, ‘Jang Uu, Akang mah nyaah ka pasantren, nyaah ka santri, sok we politik mah bagean na Jang Uu.’ Jujur saya kaget sekali mendengar itu,” ucap cucu dari KH. Choer Affandi, pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya ini. Uu merasa sedih mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu. Sang kyai rupanya hanya ingin fokus ke pesantren dan merasa soal politik bukanlah urusannya.
“Jika keadaan seperti itu terus ada maka akan sulit Islam di Indonesia mencapai daulahnya,” kata Uu, lelaki kelahiran Tasikmalaya 10 Mei 1969 ini dengan ramah. Sebuah keramahan yang merupakan bentuk kerendah-hatiannya. Itu sesuai dengan yang diajarkan oleh kakeknya KH. Choer Affandi atau Ajengan Hoer.
“Saur Aki, ulah ngarasa hirup jadi jelema gede. Keun we ari dianggap gedѐ ku batur mah,” tutur Uu. Kata Kakek, jangan merasa hidup jadi orang besar. Biarkan saja jika dianggap besar oleh orang lain. ■ RED/HANNOENG M.NUR/GOES