OLEH : HANNOENG M.NUR
PERKEMBANGAN platform digital video seperti YouTube sungguh sangat luar biasa. Saat ini setiap hari bermunculan konten-konten baru, dari mulai yang amatiran hingga profesional. Konten-konten itu dibuat oleh kalangan lintas usia, sosial, agama, bahkan lintas disiplin ilmu. Sehingga isi konten-konten itu pun jadi sangat beragam. Ada yang alay-alay tak jelas, ada yang menghibur, ada yang informatif, ada yang sarat ilmu pengetahuan. Semua konten itu memasuki setiap penontonnya berdasarkan selera dan kebutuhannya masing-masing.
Diantara maraknya perkembangan itu, terselip rasa miris juga karena banyak konten-konten yang bernuansa menabrak nilai-nilai agama, moralitas dan etika. Maka lalu terbelahlah klasifikasi konten itu menjadi dua, yaitu konten negatif dan konten positif. Ironisnya, konten negatif mudah sekali menarik perhatian viewer, sehingga dalam waktu sebentar saja mampu mencapai angka ribuan, bahkan jutaan viewer.
Konten negatif, secara umum, adalah konten yang berisi hal-hal yang sebenarnya kurang patut dipandang dari sisi nilai-nilai kebaikan yang berlaku di masyarakat. Ada yang bernuansa syahwat, penghinaan, hedonisme, penyebaran attitude buruk, fitnah, hoax dan sejenisnya. Sementara konten positif adalah kebalikan dari itu semua.
Sebenarnya tak aneh jika sebuah konten negatif bisa lebih disukai oleh penonton dibandingkan dengan konten positif. Jika kita mengacu pada dunia jurnalisme, maka kita akan menemukan idiom “bad news is good news”. Ya, orang cenderung lebih suka melihat atau mendengar tentang sesuatu yang buruk dibandingkan hal baik. Contohnya, seorang dokter yang gagal menyembuhkan seorang pasien dan si pasien itu meninggal, akan jadi pembicaraan ramai. Padahal, itu kegagalan pertama sang dokter, setelah ratusan pasien sebelumnya bisa ia selamatkan. Hal baik itu biasa, hal buruk itu luar biasa.
Lahirnya konten negatif pastilah sulit dihindari, bahkan jika pun Pemerintah memberlakukan aturan yang lebih ketat. Yang perlu dilakukan adalah menyeimbangkannya. Gencarnya kehadiran konten negatif harus diimbangi pula oleh gencarnya kehadiran konten positif. Biarlah keduanya bertarung di wilayah selera dan kebutuhan penonton YouTube.
Tentu saja sangat diharapkan orang-orang yang memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan eksistensi nilai-nilai kebaikan akan lebih bersemangat menghasilkan konten positif. Seniman, penggiat media sosial, ulama, ilmuwan, kalangan milenial, bahkan setiap orang, mesti terpacu untuk membuat konten positif. Konten yang membawa manfaat bagi banyak orang. Ada tanggungjawab moral di balik kegiatan memproduksi konten itu.
Namun tentu saja kegiatan memproduksi konten positif haruslah tidak sepenuhnya menyandarkan diri pada proyeksi mengumpulkan viewer atau subscriber. Keinginan untuk memperbanyak viewer atau subscriber adalah hal yang lumrah, tetapi jangan itu yang amat sangat diutamakan. Ibaratnya, kalau Anda punya toko, maka jual saja apa yang menjadi dagangan, bukan menjual toko beserta seluruh isinya. (***)
PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)