OLEH : HANNOENG M. NUR
ENTAH telah berapa tahun ini ruang-ruang di rumah kita diisi oleh tayangan televisi (TV) saat Sahur dan jelang Maghrib. Sudah jarang lagi ada sekeluarga berkumpul saat Sahur sambil ngobrol akrab diantara anggota keluarga. Keakraban berubah menjadi perhatian ke satu titik, yaitu tayangan televisi yang berisi pujian kepada Allah SWT dan Rosulullah, ceramah atau bahkan sekedar hiburan. Saat jelang Maghrib, semua berkumpul di depan layar TV, juga menyaksikan hal yang sama seraya menunggu datangnya adzan Maghrib. Setelah adzan maka televisi pun teronggok sendirian, tak lagi dilihat.
Di dalam Islam dipercaya ajaran bahwa salah satu moment dimana Allah SWT tidak akan menolak setiap orang yang berdoa, yaitu saat menjelang makan Sahur dan menjelang buka puasa. Di Mekkah dan Madinah saat-saat menjelang berbuka puasa banyak orang yang berdoa secara khusuk, bahkan satu jam sebelum adzan Maghrib datang. Orang yang terbangun di tengah malam, diantara nyenyaknya tidur, lalu makan, adalah orang yang ikhlas melawan nafsu dunia untuk menjalankan sunnah, yaitu Sahur. Maka itulah saat doa dikabulkan oleh Allah SWT. Sementara saat jelang Maghrib, dimana tiap yang berpuasa tengah merasakan puncak lapar dan menahan hawa nafsu, sesungguhnya adalah saat paling dekat kepada Allah SWT untuk menyampaikan doa-doa.
Lalu hilangkah moment doa-doa itu sekarang, karena tayangan televisi telah menjadi fokus perhatian setiap yang bersahur dan berbuka puasa? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari tayangan apa yang sedang disaksikan. Secara positif kita masih bisa melihat tayangan-tayangan televisi yang berisi ilmu pengetahuan agama, bimbingan ke arah jalan yang benar, ajakan menuju eksistensi pribadi muslim sejati. Tayangan-tayangan semacam itulah yang selayaknya dikonsumsi oleh setiap Umat Islam saat bersahur dan jelang berbuka puasa.
Lalu bagaimana dengan tayangan yang hanya berisi hiburan, entah lawakan, musik atau yang lain? Itulah konsekwensi dari makin berkembangnya industri hiburan di Indonesia, dalam hal ini adalah industri televisi. Sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari. Sebagai sebuah industri, stasiun televisi tentu membutuhkan cost yang amat tinggi untuk keberlangsungan dan perkembangan hidupnya dan itu didapat dari iklan.
Sementara iklan akan masuk jika tayangan itu disukai penonton, dengan konsep acara menghibur dan pengisi acaranya para idola. Sebuah mata rantai yang pasti akan sangat sulit untuk diputuskan. Ya, itulah konsekuensi logis dan dianggap paling rasional.
Pada akhirnya, semua kembali kepada the man behind the gun yang berdiri di balik layar tayangan televisi, terutama adalah para pengambil keputusan di setiap stasiun televisi. Di pundak merekalah sebuah tayangan bisa menjadi sajian yang positif atau negatif. Tepatnya, di dalam hati nurani mereka.
Sebuah konsep tayangan televisi seringkali hadir dengan argumen “sesuai selera penonton”. Hingga seolah trend itu dibentuk oleh masyarakat dan stasiin televisi hanya menjawab keinginan masyarakat penonton itu. Padahal itu tak sepenuhnya benar. Yang terjadi justru adalah sebaliknya, masyarakat hanya menerima apa yang diproduksi dan ditayangkan oleh stasiun televisi, bukan menentukannya.
Maka jika pengendali trend adalah stasiun televisi, kembalikan ke mereka semua: sejauh apa upaya mereka mengajak kaum muslimin untuk menjadi pribadi yang lebih tinggi keimanan dan ibadahnya di saat Ramadhan ini. Bukan justru seolah tak berdaya menghadapi selera masyarakat penonton. Semoga semakin hari tayangan Ramadhan di televisi akan semakin baik secara aqidah dan nilai-nilai Islami. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)