OLEH : HANNOENG M. NUR
HARI lahir ke-95 Nadhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu ditandai dengan sebuah semangat untuk membangun kebersamaan dan kolaborasi diantara Organisasi Masyarakat (Ormas-ormas) Islam di Tanah Air (Indonesia). Slogan itu menjadi sangat penting pada saat negeri ini membutuhkan kebersamaan di dalam menyelesaikan masalah, bukan saja masalah politik tetapi juga masalah sosial, terutama pendidikan dan kesehatan.
Wabah COVID-19 misalnya, tidak mungkin ditanggulangi hanya oleh Pemerintah, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kesehatan seluruh rakyat, tetapi juga menjadi tanggungjawab bersama seluruh institusi atau lembaga kemasyarakatan, utamanya lembaga keagamaan.
Ada sebuah sinyalemen bahwa Ukhuwah Islamiyyah harus lebih concern pada soal-soal pendidikan dan ekonomi, karena dari dua hal itulah masalah yang menyangkut ekstremisme atau radikalisme kerapkali lahir dan berkembang. Di satu sisi, ada benarnya sinyalemen ini, namun di sisi lain, justru ada hal yang jauh lebih penting, yaitu kesamaan pendapat dan tujuan atas nilai-nilai kebangsaan berdasar konsep NKRI. Tanpa adanya kesamaan pendapat dan tujuan itu agaknya mustahil tercapai kebersamaan di bidang ekonomi dan pendidikan.
Secara kuantitas, umat Islam di Indonesia adalah terbesar di dunia. Ini sebuah fakta yang bisa mengarah kepada kemandirian ekonomi dan perluasan pendidikan. Namun kuantitas itu harus pula dibarengi dengan kualitas yang mumpuni dan diikat oleh soliditas yang kuat. Batang-batang lidi tidak akan memiliki fungsi yang banyak saat bertebaran, namun bisa menjadi alat sapu yang fungsional manakala diikat secara kuat.
Persoalan paling mendasar diantara Ormas-ormas Islam di Indonesia adalah perbedaan konsep aktivitas berdasar pemahaman agama. Maka lalu muncullah Ormas-ormas yang terlihat beragam, dari mulai yang moderat hingga konservatif, bahkan hingga yang cenderung radikal. Amat sangat sulit memang menyatukan pikiran ormas-ormas itu berdasarkan konsep dasar mereka, karena semua akan cenderung mengedepankan egosentris dan keyakinan. Jika dipaksakan maka yang muncul adalah konflik. Justru konflik inilah yang harus sangat dihindari. Pembelahan bangsa atas nama keyakinan agama menjadi sesuatu yang harus sangat dihindari.
Melihat perbedaan konsep Ormas-ormas Islam selayaknya kita melihat perbedaan posisi diantara dua rel kereta, satu di kiri, satu di kanan, namun tetap sejalan. Tak perlu rel kiri memaksakan rel kanan untuk sama-sama ada di kiri, demikian juga sebaliknya. Karena dengan tetap berada pada posisi masing-masing maka kereta bisa berjalan. Yang perlu dicermati dan dijaga adalah jangan sampai ada rel yang berbelok sendiri, keluar dari jalur yang semestinya. Harmonisasi antar rel akan terganggu, kereta pun bisa terguling karenanya.
Dengan demikian, seluruh Ormas Islam selayaknya memiliki kesamaan tujuan berdasarkan konsep masing-masing Ormas itu sendiri. Perbedaan pemahaman berdasar agama jangan lagi dikedepankan, karena toh pada hakikatnya semua Ormas Keagamaan (Islam) berdiri di pijakan yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Biarlah itu menjadi wilayah pribadi, yang tak sepatutnya menjadi alasan untuk mengklaim sebuah kebenaran menjadi miliknya sendiri, sedangkan orang lain salah.
Jika ada Ormas Keagamaan yang memiliki tujuan berbeda, maka dengan mudah ia masuk ke dalam kategori yang menyimpang secara kebangsaan. Penyimpangan dari nilai-nilai kebangsaan ini sudah tentu adalah bentuk dari perbedaan tujuan itu tadi. Nah, di titik inilah kaidah-kaidah hukum negara bisa diterapkan secara tegas.
Maka Ukhuwah Islamiyyah dalam frame kesamaan tujuan menjadi lebih penting untuk diutamakan, sebelum mengarah ke hal-hal yang bersifat praktis seperti ekonomi dan pendidikan. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)