OLEH : TONY ROSYID
MEMBACA hasil sejumlah survei, kita bisa bagi kandidat dalam 3 (tiga) cluster. Pertama, cluster atas. Ada dua nama yang bersaing di papan atas yaitu Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Sebagian survei Anies lebih tinggi. Ada juga yang merilis Prabowo lebih tinggi.
Kedua tokoh ini hanya akan maju jika jadi Calon Presiden (Capres). Prabowo, tidak mungkin jadi Calon Wakil Presiden (Cawapres). Dua kali Nyapres, meski kalah, tidak memungkinkan Prabowo turun kelas jadi Cawapres. Apa kata dunia?
Sebagai kandidat 2024, kabarnya Prabowo saat ini lebih siap. Setidaknya secara logistik dan dukungan kelompok sekuler.
Selain Prabowo, ada Anies Baswedan. Gubernur DKI Jakarta ini disebut-sebut sebagai rising star. Meski Anies masih fokus kerja untuk DKI dan sedang menuntaskan 23 janji politiknya, namanya selalu berada di papan atas dalam setiap survei. Nampaknya, Anies lebih cocok dan diharapkan jadi Capres, bukan Cawapres. Untuk Anies, dari pada Nyawapres, sepertinya lebih baik bertarung kembali di DKI. Setidaknya potensi kemenangan di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI di depan mata.
Jika Anies jadi Cawapres dan kalah, karir selesai, juga nama berakhir. Beda kalau Capres. Ini ultimate game. Kalah-menang, bertarung sebagai orang nomor satu itu lebih elegan. Anies memang punya kapasitas dan elektabilitas untuk itu. Kata orang Jawa: sumbut meninggalkan peluang Gubernur DKI kalau Nyapres.
Di papan tengah, ada Ganjar Pranowo. Dari sisi elektabilitas, performence dan peluang ada. Ganjar bisa Capres, bisa juga Cawapres. Tetapi tetap sangat bergantung pada Ketua Umum PDIP. Disini, Ganjar betul-betul sedang mengalami turbulensi.
Di papan bawah, banyak nama yang muncul. Ada Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Puan Maharani, Agus Harmukti Yudhoyono (AHY), Khofifah Indra Parawansa, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, La Nyala Mattaliti, Gatot Nurmantyo, Edy Rahmayadi, Ahmad Heriawan, Taj Yasin dan lain-lain.
Nama terakhir belum muncul, karena survei belum menyentuhnya. Perlu diketahui, Taj Yasin punya suara cukup signifikan, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan mereka adalah loyalis yang sangat militan. Kemenangan Ganjar di Pilgub Jateng 2018 diantaranya karena support suara signifikan dari Taj Yasin. Tanpa Taj Yasin, banyak yang meragukan peluang Ganjar untuk menang.
Beberapa tokoh ini cocok jadi Cawapres. Meski tidak matematis. Artinya, semua bisa berubah bergantung pada pertama, fluktuasi elektabilitas. Kedua, partai politik. Terkadang, partai politik berani membuat keputusan yang tidak populer. Jelas rendah elektabilitasnya, tetap saja tokoh tersebut di-Capreskan. Nekat! Ini terjadi jika ada dukungan kekuasaan, atau terpaksa karena terlambat masuk koalisi yang sudah ada atau karena kekuatan logistik yang berlimpah.
Soal koalisi, masih sangat cair. Meski untuk sementara bisa dipetakkan PDIP-Gerindra di satu pihak, dan Nasdem, PKS, Demokrat dan Golkar di pihak lain. Sejumlah partai sisanya masih berputar-putar dan sibuk melakukan manuver. Diujung akan tetap bergabung ke Capres yang potensial menang atau yang sanggup menyiapkan mahar ‘aduhai’? (***)
(PENULIS adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, tinggal di Jakarta)