OLEH : TONY ROSYID
HAJI batal lagi! Begitu gerutu banyak pihak. Tahun ini, calon jama’ah haji dari Indonesia “telah diputuskan” tidak berangkat lagi. Dua tahun berturut-turut, 2020 dan 2021.
Apakah keputusan ini masih bisa berubah? Bisa! Yang nggak boleh diubah itu, ya Al-Quran, kata Pak Kiai.
Sabar! Begitu nasehat Pemerintah. Tentu, soal sabar, rakyat Indonesia paling jago. Dana rakyat dikorupsi puluhan tahun aja, sabar. Apalagi cuma nggak jadi berangkat haji. Soal ini, jangan diragukan lagi. Tapi, memang mesti ada penjelasan rasionalnya. Rasional buat Pemerintah, rasional juga di otak rakyat (jamaah haji-red). Kalau ini ketemu, clear!
Sebelum lebih jauh, kita perlu tahu dulu soal pengelolaan haji dan lembaga apa saja yang terlibat. Ini penting, supaya tidak tumbang tindih dan salah obyek.
Ada dua lembaga yang terlibat dalam urusan haji. Pertama, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag). Menag melalui Dirjen Haji bertanggungjawab terhadap kebijakan dan pengelolaan haji. Jadi, urusan batal atau tidak, itu otoritas Kemenag. Tentu, setelah konsultasikan lebih dulu ke Presiden. Karena keputusan ini punya dampak sosial dan politik. Presiden harus terlibat.
Kedua, BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Ketuanya Anggito Abimanyu. Ada 7 orang masuk Dewan Pengawas, dan 7 orang masuk Badan Pelaksana. Total pegawainya 150 orang.
Tugas BPKH, mengelola dana haji, termasuk menginvestasikannya, membayar seluruh kebutuhan haji, dan juga mensubsidi jama’ah haji.
Perlu publik tahu, kebutuhan jama’ah haji perorang itu sekitar 70-an juta. Belum termasuk uang saku yang angkanya 6 juta. Sementara jama’ah haji setor hanya 25 juta. Mau berangkat, nambah lagi sekitar 10 juta. Total 35 juta.
Jadi, kurang 35 juta, plus uang saku 6 juta. Dari mana ambil kekurangan ini? Dari hasil investasi dana haji.
Ada sekitar 5 juta calon jama’ah haji reguler dalam daftar tunggu. Rata-rata 20 tahun masa tunggu. Jama’ah ONH Plus ada sekitar 39 ribu. 7-10 tahun nunggu.
Singkatnya, terkumpul dana 150 triliun yang dikelola BPKH. Menurut Anggito, dana diinvestasikan di jalur aman. Diantaranya melalui sukuk.
Setelah masuk bank, disitu berlaku sistem perbankan. Mau dipinjam pihak ketiga untuk infrastruktur, untuk bangun pelabuhan, atau untuk ini dan itu, ya itu urusan bank. BPKH tidak punya kewenangan lagi disitu. Yang penting, dana aman dan dapat return (imbal hasil). Rata-rata imbal hasil 5 persen pertahun.
Jadi, dari dana 150 triliun itu setiap tahun rata-rata dapat imbal hasil 8 triliun. Kalau 2 tahun, ya 16 triliun. Ini mah pelajaran tambah menambah di SD.
Berarti, kalau dua tahun batal haji, ada 16 triliun yang bisa disave. Untuk apa? Untuk subsidi calon jama’ah haji kedepan. Kalau dua tahun tidak berangkat, berarti subsidinya lebih gede dari biasanya dong? Ini baru cerdas! Yang begini penting ditanyain.
Berapa jadinya subsidi itu? Biar BPKH yang jelasin. Boleh jadi, tidak ada lagi setoran 10 juta bagi calon jama’ah haji yang mau berangkat. Lumayan bukan? Boleh jadi juga uang sakunya nambah. Nah, ini perlu segera dibuka agar bisa lebih transparan.
Balik lagi, emang sekarang “betul-betul” nggak bisa berangkat haji? Keputusannya begitu. Ini urusan Kemenag, Bung. Ada delapan alasan, kata Kemenag. Kalau kurang, silahkan minta tambah. Kalau nggak jelas, silahkan dialog supaya lebih jelas. Kalau nggak percaya, silahkan kasih data yang Anda punya sebagai pembanding.
Hanya saja, supaya calon jama’ah haji, atau masyarakat nggak kaget, mestinya jangan mendadak pengumuman pembatalannya. Melalui media, jama’ah perlu diajak secara intens untuk berdialog. Kasih data-data soal haji. Dijelaskan risiko ketika berangkat sekarang. Baik risiko penyebaran COVID-19, maupun risiko keterbatasan waktu persiapan. Karena memang, Pemerintah Arab Saudi juga belum membuat keputusan. Waktunya juga makin mepet. Dalam konteks ini, semua pihak harus jujur. Pakai data yang akurat.
Soal komunikasi, Pemerintah memang harus mau evaluasi. Selama ini, suka bikin kaget, karena sering mendadak, simpang siur, dan kadang cepat berubah. Ini mesti diperbaiki. Supaya bisa meminimalisir terjadinya kegaduhan, hoak dan lain-lain.
Akibat pembatalan yang terkesan mendadak, hilang kepercayaan sebagian masyarakat terkait haji. Ada yang takut uangnya raib. Infonya, sudah ada 0,8 jama’ah yang menarik uangnya. 0,8 persen dari 5,39 juta itu 50 ribu lebih. Kalau ini benar, bahaya!
Penarikan dana haji ini merugikan banyak pihak. Pertama, merugikan buat calon jama’ah haji sendiri. Kalau mau daftar lagi, ngantri lagi. Panjang dan lama. Iya kalau uangnya masih ada. Masa pandemi seperti ini, uang bisa wassalam. Nggak jadi berangkat haji, deh!
Kedua, rugi juga buat jama’ah yang lain. Kalau uang ditarik, akumulasi dana 150 triliun yang dikelola BPKH akan berkurang. Kalau berkurang uangnya, hasil investasinya juga berkurang. Ini bisa jadi ancaman buat subsidi calon jama’ah haji yang mau berangkat.
Ketiga, rugi juga buat BPKH. Dana operasional 5 persen dari hasil investasi juga akan berkurang.
Intinya, narik dana haji, itu kerugian berjama’ah. Karena itu, pihak Pemerintah, dalam hal ini Kemenag, akan jauh lebih bijak kalau nggak pernah lagi menyinggung secara vulgar soal penarikan dana haji. “Silahkan kalau mau ditarik, tiga hari bisa selesai diurus”. Ini namanya nantangin. Bisa dan sungguh sangat berbahaya! (***)
(PENULIS adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, tinggal di Jakarta)