PENTINGNYA BANTUAN & JAMINAN SOSIAL, ‘RAKYAT BUNTUNG’ ADA YANG AMBIL UNTUNG’

OLEH : TONY ROSYID

SOAL COVID ada yang percaya, tapi cukup banyak yang nggak percaya! Kabarnya malah ada 17 persen. Mau dijejali data kayak apapun, susah percaya. Orang-orang macam ini memang merepotkan. Nggak peduli pada protokol kesehatan (Prokes). Bodoh amat, katanya.

Ada yang setengah percaya. “Fakta ada, tapi banyak manipulasinya. Data dilebih-lebihkan,” katanya. “Hidup mati Tuhan yang menentukan, kenapa takut COVID?” Begitu, tambahnya. Repot juga ngadepin orang-orang macam ini.

Bicara kelaparan, nggak pandang bulu pendukung siapa. Urusan perut, ini soal hidup mati. Mazhab politik nggak berlaku. Di sinilah pentingnya bantuan dan jaminan sosial. Harus segera, tepat waktu, cukup untuk hidup dan merata.

Ada yang 100 persen percaya, tapi hari-harinya lapar. Kalau nggak keluar, nggak bisa makan. Sementara, hidup mereka nggak ada yang jamin. Kelompok ini paling banyak. Cash Flow-nya harian. Hari itu dapat duit, hari itu juga buat makan. Kalo nggak dapat duit? Kelaparan! Inilah para pedagang kecil yang berpotensi menciptakan gejolak sosial.

“Yang ditertibkan itu kerumunannya, bukan dagangannya,” kata salah seorang Bupati. Cerdas! PPKM memang aturan Pemerintah Pusat, tapi Kepala Daerah mesti “ijtihad” untuk menerjemahkan aturan itu di lapangan. Kalau hantam kromo, bisa menimbulkan gejolak sosial.

Enak bagi yang punya gaji bulanan atau yang masih ada tabungan. Pandemi memang ngaruh, tapi nggak bikin mereka kelaparan. Dapur tetap ngebul, karena simpanan masih ada.

Ditengah kas negara jebol, ekonomi terkonstraksi. Banyak rakyat yang kelaparan, tapi ada yang beruntung. Jumlahnya sangat kecil.

Apakah dana simpanan nasabah di bank bertambah jadi 666,7 trilliun dan jumlah orang kaya di Indonesia naik hingga 61,69 persen berasal dari sini? Mesti perlu dicek datanya.

Siapa mereka? Pemilik rumah sakit dan klinik, pengusaha obat-obatan, penjual suplemen, pedagang APD – mereka yang mendapat proyek bantuan sosial (Bansos). Semuanya diuntungkan di masa pandemi. Pundi-pundi kekayaan semakin berlimpah. Ini hukum pasar. Demand naik, pasar ramai, otomatis keuntungan makin besar. Sesuatu yang alamiah.

Yang nggak alamiah ketika rumah sakit meng-COVID-kan pasien yang tidak COVID. Pedagang obat yang menaikkan harga obat nggak kira-kira. Pengusaha yang berkolaborasi di proyek APD dan Bansos untuk maling uang negara. Ini yang jadi masalah.

Ada minuman suplemen, diopinikan meningkatkan imun, diburulah oleh para pembeli. Rakyat “kelas tertentu” berlomba memborongnya. Hitungan hari, minuman itu hilang dari peredaran. Di supermarket dan minimarket mulai langka. Beberapa hari kemudian muncul, tapi harga di pasaran sudah naik 30-40 persen. Gila! Rakyat makin tercekik.

Kerja keras Pemerintah dan ketaatan rakyat terhadap Prokes terciderai. Tidak sedikit yang lalu mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap dan tindakan yang tidak tepat. Apalagi dalam situasi galau seperti ini. Mereka dipertontonkan video sejumlah oknum pejabat publik yang plesiran. Makin sakit, katanya.

Dalam kondisi Pemerintah dan rakyat yang sedang buntung, tega-teganya “seenak wudele” mereka ambil untung! Boro-boro berkurban untuk rakyat, rasa empati aja nggak ada! Sungguh tak punya perasaan. Kepada mereka, negara mesti tegas: Tertibkan! Orang-orang seperti mereka yang membuat bangsa ini sulit untuk kompak. Padahal, pandemi mestinya membuat kita makin kompak. (***)

(PENULIS adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, kini tinggal di Jakarta)

Related posts

Masuk Sepekan Jelang Lengser dari Jabatan Presiden RI, JOKOWI ‘Lakon Pangkas Wajah’

Ah…Drama Fufufafa, CERMIN SATIR yang Menampilkan Realitas Sebenarnya

Harus Jadi Kebanggaan Putra Betawi Pimpin Jakarta & Bukan Malah Dukung Tokoh dari Luar Daerah