OLEH : AGUS SANTOSA
PENULIS sempat dibikin geleng-geleng kepala, manakala mengamati perjalanan dan bahkan menjadi ‘bidan’ dari kelahiran sebuah organisasi (Yayasan), tapi tidak melihat dinamisasi kerja para pengurusnya. Padahal, secara eksistensi sudah memasuki tahun ketiga. Atau, bagi mereka sudah cukup bangga dan sekaligus merasa kuat, karena ikut tandatangan dalam akta pendirian Yayasan.
Sementara jika dilihat actionnya (kerja-red), justru seperti tak paham akan kapasitas atau fungsionalnya apa selama ini? Nah, berpikir akan pentingnya ada anggaran dasar dan anggaran dasar rumah (AD/ART) dari organisasi (Yayasan) itu saja, tidak pernah. Padahal itu juga sangat urgent, karena akan menjadi petunjuk kerja sesuai kapasitas dan fungsional para pengurus.
Bukan hanya itu saja. Yayasan secara organisasi sudah berjalan memasuki tahun ketiga, tapi keberadaan Kantor atau Sekretariat Yayasan, nyaris seperti tak pernah dipikirkan atau dianggap perlu. Analoginya, itu kan sama saja seseorang mengaku kuliah di perguruan tinggi atau universitas tertentu, tapi tidak punya gedung atau kampus yang formal.
Menurut hemat penulis, sebuah organisasi (Yayasan) bisa berjalan dinamis, jika Ketua Pengurus (Ketua Yayasan) disupport oleh kedua elemen penting, yakni Sekretaris dan Bendahara. Kedua pengurus tersebut seyogyanya sering berkomunikasi atau bertemu secara formal atau informal untuk bertanya apa yang menjadi kebutuhan Ketua Yayasan, baik terkait surat menyurat dari Sekretaris maupun laporan keuangan dari Bendahara.
Nah, apa jadinya jika kedua elemen penting yakni Sekretaris dan Bendahara, seperti tidak support kepada Ketua Yayasan. Malah disinyalemen lebih mengacu dalam banyak urusan ke Ketua Pembina Yayasan. Dan, bahkan punya asumsi yang salah, dalam organisasi (Yayasan) itu segala keputusan harus oleh Ketua Pembina. Hal itu kan salah kaprah, jadinya.
Kalau merasa ikut tandatangan di akta pendirian Yayasan, tolong baca dengan seksama bahwa Ketua Pengurus (Ketua Yayasan) itu menjadi atasannya langsung. Sebagai pengendali plus penanggungjawab jalannya atau roda organisasi (Yayasan). Jadi, jangan ada jajaran pengurus main potong kompas, apa-apa meminta Ketua Pembina Yayasan sebagai eksekutornya atau penentunya. Sebab, cara itu lazim disebut sebagai non prosedural.
Sama seperti ketika ada Sekretaris Yayasan dan jajaran atau elemen pengurus di bawahnya, langsung menginisiasi program dan potong kompas ke Ketua Pembina Yayasan. Sementara Ketua Bidang dan bahkan Ketua Pengurus (Ketua Yayasan) ‘dilangkahi’. Hal itu sama saja sebuah organisasi resmi, tapi dikendalikan oleh orang-orang yang justru masih kurang paham soal organisasi itu sendiri.
Begitu pula bicara tentang keberadaan Bendahara, boleh tanya ke siapa pun – pasti dari Sabang sampai Meuroke, menyebut bahwa fungsional seorang bendahara itu pasti untuk bikin laporan terkait keuangan. Apalagi organisasi (Yayasan) itu sendiri, sudah berbadan hukum – sebagai lembaga publik dan mengelola dana masyarakat. Kewajiban bikin laporan pasti akan termaktub dalam AD/ART.
Dalam hubungan di tingkat pimpinan pun, lazimnya Ketua Pengurus (Ketua Yayasan) yang melaporkan atau untuk konsultasi terhadap program kerja organisasi kepada Ketua Pembina Yayasan. Jadi, bukan oleh Sekretaris, Bendahara atau setingkat Ketua–Ketua lainnya yang main ‘selonong boy’ ke Ketua Pembina Yayasan.
Bahkan, ada kecenderungan ingin membangun kelompok di jajaran pengurus Yayasan dan kemudian minta back-up ke Ketua Pembina Yayasan. Sikap itu sebenarnya yang harus dihindari. Jika kita sudah berada dalam Yayasan, harus berpikir untuk kepentingan bersama. Dalam memutuskan satu program misalnya, ya harus berdasarkan kolektif kolegial (keputusan bersama) atau mengacu pada suara yang terbanyak.
Pengambilan keputusan di internal pengurus, cukup dipimpin oleh Ketua Yayasan. Setelahnya atau jika memang ada kendala perdebatan dan belum clear atau belum diperoleh kesepakatan, baru dikomunikasikan oleh Ketua Yayasan kepada Ketua Pembina Yayasan. Begitulah prosedur yang benar.
Terakhir, penulis juga sangat prihatin ketika ada elemen eksternal yang tak memiliki kapasitas formal di dalam organisasi (Yayasan), kok lebih cenderung didengar. Cukup kasih masukan dan kemudian dibahas di tingkat internal. Seyogyanya, orang luar, idealnya ikut mengamati roda organisasi (Yayasan) berjalan dinamis atau tidak? Bagaimana peran Sekretaris, Bendahara dan Ketua Pengawas – jangan cuma sekadar tandatangan di akta Yayasan, tapi tanpa tahu kapasitas dan fungsionalnya.
Penulis juga sempat terheran-heran, manakala mengingatkan ada atau banyak hal diluar prosedur dalam organisasi (Yayasan) – ini malah dituding ‘bikin gaduh‘. Seharusnya, sebelum bereaksi tanpa dasar, ikuti atau pahami dulu apa substansinya. Tentu saja terkait maksud dari seseorang yang menyampaikan pendapat atau pandangan dengan tujuan untuk perbaikan melalui pemikiran yang konstruktif demi untuk kemajuan bersama.
Karena itu pula, penulis jadi ingat ada seorang ulama besar, Imam Syafii yang pernah berkata bahwa : Saat Anda menyampaikan kebenaran, maka Anda menemukan dua reaksi yang berbeda. Yang bijak akan merenung dan yang bodoh akan tersinggung. Sulit meyakinkan ‘lalat’ kalau bunga lebih indah daripada sampah! (***)
(PENULIS adalah Wartawan Ibukota dan Pemerhati Masalah Sosial /Organisasi Sosial Kemasyarakatan, kini tinggal di Bekasi)
1 comment
Sebuah masukan yang bagus buat sebuah organisasi untuk menuju yang lebih baik lagi Aamiin Ya Robbal’aalamiin.