OLEH : AGUS SANTOSA
PRODUK gagal jika dalam sebuah lembaga atau organisasi (Yayasan) menarik-narik (tarik) pembina ke hal yang bersifat operasional. Bahkan, gonta-ganti ketua pengurus yang bukannya malah disupport (dukung), tapi malah dibiarkan terjadi disharmonisasi (beda penafsiran dan ketidakpastian). Hal itu pula yang mengindikasikan pada ketidaksiapan dari masing–masing elemen (pembina – ketua – jajaran pengurus) yang terlibat di dalamnya.
Kalau pembina ingin atau terlalu masuk ke hal yang bersifat operasional dalam organisasi, kenapa dulu harus mengalihkan kapasitasnya kepada ketua pengurus yang ‘ditunjuk’? Padahal, awalnya sosok pembina adalah yang menerima ‘mandat‘ secara aklamasi dari pemilik hak suara. Begitu pula saat terjadi kegagalan pertama (ketua mundur), bukannya dievaluasi – tapi malah ingin kembali mengulang kejadian yang sama.
Ketua organisasi kedua (pengganti) yang ditunjuk berdasarkan usulan-usulan, kembali tak didukung. Pembina malah lebih mengedepankan masukan jajaran pengurus dan pihak eksternal. Idealnya dalam sebuah organisasi – sosok ketua pengurus yang seharusnya punya hubungan langsung kepada pembina. Hal apa-apa saja yang ingin dikomunikasikan antara ketua dengan pembina, misalnya terkait kendala-kendala yang dihadapi. Bukan jajaran pengurus pakai ‘jalan pintas’ ke pembina.
Selanjutnya, suasana ‘disharmonisasi‘ alias beda penafsiran atau ketidakpastian para pengurus dalam sebuah organisasi atau lembaga yang terus dibiarkan, justru akan menjadi kendala serius demi pencapaian untuk meraih kemajuan itu sendiri. Yang diharapkan justru sebaliknya, jika suasana harmonis yang terbangun, agar dapat mengarahkan pada dinamisasi kerja dari ketua pengurus atau ketua bidang maupun pengurus (jajarannya) sesuai kapasitas dan fungsionalnya.
Melalui pemikiran berbentuk tulisan ini, penulis ingin membedah berdasarkan pengalaman empiris yang bersumber dari pengetahuan dan juga diperoleh berdasarkan observasi. Jadi, jangan diasumsikan ‘menyerang‘ dengan tujuan negatif. Tapi, dimaksudkan agar kita semua saling mengedukasi dan mengevaluasi diri, dimana sebenarnya ‘titik kelemahan‘ sehingga bisa diperbaiki untuk dikemudian hari.
Penulis mencoba berada dalam konteks pembahasan soal organisasi. Oleh karenanya, jangan dikaitkan atau diartikan dengan melawan ‘guru‘ atau siapapun yang memiliki status keagamaan. ‘Organisasi ya organisasi’. Jika menyebut kelemahan atau kekurangan, juga jangan lantas diasumsikan membuka aib orang. Dalilnya, harus dijawab dengan konteks organisasi, bukan dengan dalil agama.
Untuk menyikapi sebuah organisasi (yayasan) yang faktanya berjalan di tempat, meski sudah berjalan lebih dari dua tahun atau bahkan mendekati tiga tahun, memang perlu dilakukan pemetaan persoalan. Apa-apa saja yang bikin suasana ‘disharmonisasi‘ itu tadi? Apakah di dalam lembaga atau organisasi tersebut, ada kelompok yang justru ingin dominan? Padahal, seharusnya ada pijakan berupa aturan semacam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) yang tak boleh dikesampingkan.
Urgenitas adanya AD/ART harus diprioritaskan dalam organisasi atau lembaga. Sebab, pola kerja ketua atau jajaran pengurus, tak boleh hanya berdasarkan perintah lisan. Apalagi keberadaannya sebagai lembaga publik, berbadan hukum yang memiliki akta dan tercatat di Kemenkum HAM serta mengelola dana publik.
Masih seputar keberadaan organisasi atau lembaga, hal penting lain adalah dibutuhkan kantor sekretariat berikut perangkat kerja, agar bendahara dan sekretaris serta jajaran ketua atau pengurus – pengurus lain sesuai bidang bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Sebab, itu menjadi kebutuhan yang sangat mendasar atau elementer. Jelas keliru jika disebut terkait kebutuhan di atas, bukan merupakan atau belum menjadi skala prioritas, karena alasan masih proses belajar. Padahal faktanya sudah tiga tahun berjalan.
Justru dari keberadaan kantor sekretariat bisa terinventarisasi program-program organisasi. Rapat ketua atau jajaran pengurus, ya yang layak tempatnya. Perangkat ATK (komputer dan filing cabinets) untuk menyimpan data dan berkas-berkas. Juga tidak menjadi alasan bagi bendahara organisasi yang mengelola dana publik, untuk tidak bikin laporan keuangan bulanan atau tahunan – sebagai bentuk pertanggungjawaban secara administratif. Minimal internal ketua dan pengurus harus tahu.
Penulis kurang sepakat, jika dalam berorganisasi jangan melulu dibilang dengan alasan sedang proses belajar. Hal-hal yang keliru selalu ditolerir atau dimaklumi. Jika sudah dua atau tiga tahun berjalan, seyogyanya ada peningkatan yang diraih. Dari sebelumnya tak bisa periodik bikin laporan keuangan, kemudian bisa dilakukan. Jika sebelumnya membahas program kerja hanya lewat komunikasi informal atau malah main ‘selonong boy‘, sekarang ya harus dilakukan dalam pertemuan formal lewat rapat-rapat pengurus.
Apapun program yang ingin dikerjakan oleh organisasi atau lembaga, ya lewat jalan musyawarah. Kritik atau bantah saja pimpinan atau ketua, jika memang tak sejalan dengan pemikiran jajaran pengurus. Jangan dirapat ‘yes man‘, tapi setelahnya malah ‘debatebel’ diluar dan bahkan harus mengikuti atau mendengar pihak-pihak non formal lembaga atau organisasi. Menerima masukan boleh, tapi tak juga harus diikuti, apalagi pihak eksternal tersebut bukan pimpinan formal dalam lembaga yang ada di lingkungan, misalnya.
Kembali ke soal keberadaan pembina, seyogyanya memahami bahwa roda organisasi yang menjalankan adalah sosok ketua pengurus. Hal-hal yang bersifat operasional organisasi merupakan domain ketua. Kalau paham itu, tentu tak bakalan terjadi ada rapat pengurus, justru ketua pengurus malah yang diundang. Sekretaris itu formalnya sebagai sekretaris yang membantu ketua pengurus organisasi, malah bikin surat atas nama pembina. Jangan dibuat standar ganda, pembina seolah-olah ingin didudukkan sebagai ketua alias sebagai pengendali jalannya roda organisasi.
Ada yang lebih memprihatinkan lagi, dimana pembina malah menerima ‘pengunduran diri‘ jajaran pengurus. Yang namanya pengurus mundur, ya harus menyampaikan lewat surat resmi kepada ketua pengurus. Setelah itu baru dikomunikasikan oleh ketua pengurus kepada pembina. Hal itu juga harus dilakukan lewat rapat pengurus. Pengurus yang mundur, sesuai kapasitasnya, juga harus membuat laporan keuangan (misalkan bendahara) agar kesinambungan kerja bisa berjalan, terutama bagi sosok penggantinya.
Jadi, mau sampai kapan suasana (disharmonisasi) itu terus terjadi? Sebab, manakala kita gabung dalam sebuah organisasi, ya harus membawa sikap indepedensi (netral). Datang untuk menyatukan pemikiran, satu visi dan misi, agar organisasi meraih kemajuan sesuai yang diharapkan. Sebab, organisasi itu adalah lembaga publik yang juga diawasi oleh pihak-pihak eksternal. Mereka paham dan tahu, apakah kemudian akhirnya bisa menilai bahwa organisasi itu sebagai ‘produk gagal‘. Kenapa? Karena banyak hal-hal non prosedural yang tak dipahami, tapi terus saja dilanggar.
Sebagai penutup melalui tulisan ini, penulis justru ingin mendudukkan persoalan yang sebenarnya. Tidak perlu ada yang merasa bersalah. Yang paling penting, marilah menempatkan diri pada kapasitas dan fungsional yang diamanatkan kepada kita. Tentu saja dengan harapan, karena sudah dua tiga tahun roda organisasi berjalan, ya harus ada pencapaian – pencapaian yang justru bisa menjadi pengalaman atau pelajaran berharga di masa mendatang. Semoga! (***)
(PENULIS adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan organisasi serta aktif sebagai wartawan unit koordinatoriat Balaikota/DPRD DKI Jakarta)