JAKARTA (POSBERITAKOTA) □
Kita wajib bersyukur karena dengan karunia Islam dan Iman, Allah SWT juga karuniakan wasilah atau sarana untuk menguatkan ketaqwaan. Salah satu di antaranya dengan adanya syariat kewajiban sholat Jum’at secara berjamaah. Dimana umat bertemu dalam semangat memperdalam dan mengamalkan taqwa, baik secara individual maupun kolektif. Termasuk di antara bentuk pengamalan taqwa adalah dengan meningkatkan kualitas jiwa atas dasar fitrah yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kepada manusia.
Hal tersebut disampaikan Dr. KH. M. Hidayat Nur Wahid MA yang juga dikenal sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) dalam khutbah Jum’at-nya dihadapan puluhan ribu jamaah yang memadati Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jum’at (3/6/2022).
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al–Qur`an surat Ar-Rum ayat 30,
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah SWT disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Rum/30: 30).
Ditambahkan bahwa sesungguhnya salah satu bentuk fitrah yang menjadi fakta kehidupan manusia ialah kehidupan berkomunitas dan bersosial dengan sesama bangsanya di mana dia berada, di mana dalam bentuk kontemporernya fitrah tersebut termanifestasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana telah termaktub dalam firman Allah subhanahu wata’ala surat Al-Hujurat ayat 13,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS. Al-Hujurat/49: 13).
Dalam pandangannya bahwa kehidupan kebangsaan yang berangkat dari kecintaan kepada Tanah Air, bukan hanya merupakan fitrah saja. Bahkan ini pun merupakan perilaku yang tercermin dalam kepribadian Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana kita mengetahui salah satu doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah selesai melaksanakan hijrah dari kota Makkah:
Artinya : “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Makkah, bahkan dengan kecintaan yang lebih tinggi lagi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dari itu, menurutnya, tidaklah mengherankan jika salah satu upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meningkatkan situasi kondusif di Madinah sebagai Tanah Air yang majemuk dan multi-kultural, adalah dengan meningkatkan kohesi keumatan dan kebangsaan di dalamnya. Dimulai dengan persaudaraan antara elemen Muhajirin dan Anshar, hingga disusunnya Piagam Madinah yang mengupayakan kemaslahatan bagi seluruh penduduk Madinah, apa pun latar belakang suku dan agamanya.
“Ummah wahidah”, atau “Satu Kesatuan Bangsa/Masyarakat”, begitulah Piagam Madinah menyebut seluruh elemen penduduk Madinah. Deskripsi yang mempersatukan dan tidak diskriminatif tersebut menjadi karakteristik khas Piagam Madinah yang mengatur kerukunan masyarakat, hak dan kewajiban masyarakat, hingga persepsi pertahanan Madinah dalam menghadapi kekuatan musuh dari luar. Inilah sunnah dan ajaran orisinal Islam, keteladanan luhur yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta diabadikan oleh sejarah, bagaimana Islam menghadirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang indah dan kondusif atas dasar orientasi keimanan dan keagamaan yang lurus.
Digambarkan Hidayat Nur Wahid bahwa Piagam Madinah yang inklusif dan sarat toleransi tersebut telah menjadi batu fondasi yang melahirkan entitas Islam yang kuat, berdaulat, dan berpengaruh selama berbilang abad. Inspirasi Piagam Madinah pun tak terelakkan menjadi inspirasi bagi para Bapak Bangsa Republik Indonesia, berkat ketajaman dan kedalaman ilmu para Ulama dan tokoh umat Islam yang turut memperjuangkan kelahiran dan Kemerdekaan Indonesia yang kita cintai ini. Konsepsi Darussalam maupun Darul Ahdi wa Syahadah yang dirumuskan oleh para Ulama Pendiri Bangsa ini telah turut melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan, sebagaimana perwajahan dari nilai-nilai positif Piagam Madinah, yaitu hadirnya kedamaian, gotong-royong, dan kerukunan antar sesama anak bangsa dengan beragam latar suku dan agamanya.
Termasuk kokohnya relasi Islam dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal merupakan suatu tradisi fundamental dalam Islam, sekaligus merupakan fakta sejarah. Allah subhanahu wata’ala memberikan gambaran ideal tersebut bagi kita semua dalam firman-Nya Al-Qur`an surat Saba ayat 15,
ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
Artinya: “…Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun” (QS. Saba/34: 15).
Negeri yang baik dan dicita-citakan tersebut tidaklah berada dalam ruang hampa, melainkan merupakan fakta sejarah yang ditorehkan oleh umat Islam terdahulu dengan hadirnya entitas peradaban Muslim yang maju secara politik, ekonomi, pengetahuan, sosial dan budaya. Maka tanggungjawab kita sebagai umat Islam pada hari ini ialah melanjutkan cita-cita gemilang tersebut dalam konteks kontemporer, yakni dengan mewujudkan tujuan bernegara yang mulia dan bermartabat sesuai ajaran Islam dan kemaslahatan bangsa.
“Bagi kita sebagai kaum Muslimin, sudah selayaknya menjadikan tujuan bernegara agar beriringan dengan inspirasi dan aspirasi keimanan kita. Pada hakikatnya Iman dan Islam berangkat dari berbagai tujuan dan maslahat universal yang mulia, yang diistilahkan oleh para Ulama sebagai “Al-Maqashid Al-Syar’iyyah”. Sesungguhnya antara keislaman dengan tujuan bernegara yang ideal tidak akan saling berbenturan, bahkan akan saling menyempurnakan dan melengkapi,” tutur mantan Presiden PKS (Partai Kesejahteraan Sosial) tersebut.
Karena itulah, lanjut dia, sangat penting bagi kita untuk merealisasikan segala maslahat universal yang diajarkan oleh Islam dalam rumusan tujuan-tujuan bernegara kita, di antaranya dengan mewujudkan hal-hal berikut ini:
A. Perlindungan Universal Bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Salah satu kandungan utama Piagam Madinah ialah perlindungan umum dan menyeluruh bagi seluruh masyarakat kota Madinah dengan seluruh suku dan agamanya, sebagaimana termaktub dalam Pasal 15 dan 16 Piagam Madinah. Tentu kandungan tersebut selaras dengan semangat “Hifzhu Al-Nafs” sebagai kemaslahatan yang dituju oleh Dienul Islam, sebagaimana kandungan firman Allah subhanahu wata’ala yang melarang keras pembunuhan tanpa konteks yang dibenarkan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur`an surat Al-An’am ayat 151,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya : “…Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar” (QS. Al-An’am/6: 151)
Penghargaan Islam terhadap nyawa segenap umat manusia bahkan ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
Artinya : “Setiap amal kebaikan untuk yang bernyawa adalah berpahala” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perlindungan terhadap segenap manusia dalam Islam bukan hanya sebatas larangan membunuh saja, bahkan lebih dari itu, ajaran Islam memerintahkan derma kebaikan bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali. Dengan meresapi konsep perlindungan umat manusia yang diajarkan oleh syariat Islam, maka semakin relevan pula kandungan Alinea keempat UUD NKRI 1945 : “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia,” sebagai tujuan bernegara yang bernafaskan nilai Dienul Islam.
B. Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Republik Indonesia
Salah satu upaya terpenting dalam mewujudkan “Hifzhu AlNafs” sebagai kemaslahatan yang dituju oleh Dienul Islam adalah dengan melaksanakan tugas dari Allah subhanahu wata’ala kepada anak cucu Nabi Adam alaihis salam untuk memakmurkan bumi.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 30,
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi” (QS. Al-Baqarah/2: 30).
Tugas manusia dalam memakmurkan bumi pun kembali ditegaskan dalam ayat lainnya dengan penjelasan yang menarik dalam firman-Nya pada Al-Qur`an surat Hud ayat 61,
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
Artinya : “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya” (QS. Hud/11: 61).
Betapa dekat makna ayat di atas bagi kita yang lahir di atas tanah Indonesia, bahwa sesuai Sunnatullah kitalah yang bertanggungjawab memakmurkan tanah kelahiran kita ini beserta segenap bangsanya. “Memajukan kesejahteraan umum …” yang termaktub dalam alinea keempat UUD NKRI 1945 bukanlah sekadar amanat konstitusional, bahkan ia merupakan amanah Islami yang diemban oleh kita selaku umat Islam di Indonesia, agar kita menghadirkan keadilan dalam aspek hukum, sosial, politik, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya, demi mewujudkan kesejahteraan yang dicita-citakan dan diridhai Rabbul Izzah Allah subhanahu wata’ala.
C. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Kemajuan dan kestabilan bangsa mana pun tidak dapat diraih tanpa pendidikan yang bertanggungjawab dan bermoral. Lebih daripada itu, derajat “Rabbani” dalam Islam, yakni derajat tertinggi seorang mukmin yang sepenuhnya berorientasi kepada Allah subhanahu wata’ala, tidaklah dapat dicapai tanpa menempuh jalan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur`an surat Ali-Imran ayat 79,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ
Artinya : “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS. Ali Imran/3: 79).
Islam telah memposisikan ilmu pengetahuan sebagai pembeda derajat manusia. Oleh karenanya para Ulama sejak generasi awal menyimpulkan bahwa salah satu maslahat yang diperjuangkan oleh dienul Islam adalah penjagaan dan pemenuhan hak-hak akal budi manusia, atau yang dikenal dengan “Hifzh Al-Aql”. Hal tersebut sebagaimana Allah subhanahu wata’ala isyaratkan dalam firman-Nya pada Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 9,
اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ
Artinya : “Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar/39: 9).
Maka “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, haruslah dalam kerangka melahirkan manusia-manusia yang cerdas secara sepenuhnya, baik secara intelektual, emosional, dan spiritual. Pendidikan yang mencerdaskan dan dicita-citakan oleh para Bapak Bangsa kita bukanlah pendidikan semu yang menciptakan manusiamanusia kosong tanpa nilai, melainkan pendidikan sejati yang berketuhanan, bermoral, dan berbudi. Pendidikan yang menjadikan kaum beriman sebagai “Rabbani” dan menjadikan seluruh Bangsa Indonesia sebagai masyarakat Madani.
D. Menjadi Kontributor Peradaban Dunia
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam telah mengajarkan kepada kita cinta tanah air serta kehidupan berbangsa yang rukun dan harmonis. Namun tujuan dari hal tersebut bukanlah untuk menjadi bangsa yang eksklusif, fanatik (ashabiyah), atau bahkan menindas dan menginjak bangsa lainnya. Justru Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan bahwa tujuan penciptaan kemajemukan (kebhinnekaan) suku-suku dan bangsa-bangsa ialah: “Lita’aarafu” (QS. Al-Hujurat/49: 13), agar antar kelompok, suku, dan bangsa saling ber-ta’aruf.
Ta’aruf di sini bukanlah dalam pengertian perkenalan kognitif yang sempit belaka. Dalam bahasa Arab, Ta’aruf berasal dari akar kata ‘A-Ra-Fa. Akar kata tersebut bisa menghasilkan makna-makna lainnya seperti: ma’ruf (kebaikan), ‘urf (adat dan tradisi), ataupun ma’rifah (pengetahuan). Maka kebangsaan kita justru diharapkan mampu melahirkan pergaulan yang baik dengan masyarakat dunia, agar terjadi pertukaran nilai dan budaya yang baik serta kontribusi positif antar sesama bangsa di dunia.
Para Ulama kita yang menjadi para Bapak Bangsa Republik Indonesia pun tidak luput dari pemahaman tersebut, yakni agar lahirlah bangsa Indonesia yang aktif dan solutif di tengah pergaulan dunia, bukan sebagai bangsa yang pasif dan negatif. Pengejawantahan Alinea Keempat UUD NKRI 1945 yang mencatatkan “…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” dengan penerapannya secara optimal, insya Allah akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa terhormat dan tidak dipandang sebelah mata, baik di tingkat regional maupun global.
Komitmen Republik Indonesia dalam membela kemerdekaan Palestina dan bangsabangsa tertindas lainnya sepanjang sejarah lintas pemerintahan, merupakan wujud pembuktian tujuan bernegara kita sekaligus penerapan ajaran Ukhuwwah Islamiyah dan Ukhuwwah Basyariyah yang mulia. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman dalam Al-Qur`an surat Al-Qashash ayat 77,
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya : “… dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash/28: 77).
Pada bagian akhir khutbahnya, Hidayat Nur Wahid, ingin mengajak mencermati beberapa prasyarat yang perlu kita penuhi bersama, baik di tingkat individual maupun kolektif, dalam mencapai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur dan tujuan-tujuan bernegara yang telah dituliskan para Bapak Bangsa kita dalam UUD NKRI 1945. Beberapa prasyarat tersebut ialah:
1. IKHLAS
Pemurnian niat kita dalam membangun umat dan bangsa, rakyat dan negara, adalah kunci keberhasilan kita dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan. Mari tegaskan dan luruskan niat, bahwa dengan nama Allah subhanahu wata’ala kita bertekad menerapkan tujuan-tujuan mulia Dienul Islam dalam kinerja dan amal bakti kita bagi Republik Indonesia. Keikhlasan memang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dapat dilihat melalui kesesuaian perkataan dengan perbuatan. Firman Allah subhanahu wata’ala :
2. AKHLAK
Lurusnya moral dan etika hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan yang holistik dan universal, pendidikan yang membangun jiwa dan raga.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur`an surat Al-Bayyinah ayat 5,
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS. Al-Bayyinah/98: 5).
Negara mempunyai tanggung jawab dalam merealisasikan pendidikan yang melahirkan keteladanan, kepemimpinan dan profesionalitas. Pun begitu pula orang tua dengan segala kemampuannya, agar melindungi anak-anak kita dari segala fitnah dan bahaya di masa perkembangan pesat teknologi informasi.
3. AMANAH
Lahirnya amanah dan tanggungjawab merupakan hasil dari keteladanan. Sifat amanah yang menyebar dan membumi.
“Sesungguhnya orang yang paling baik ke-Islamannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Ahmad).
“Bagi setiap penduduk negeri ini, apabila benar-benar menjalankan kewajiban dan amanah yang dipercayakan kepadanya dengan baik, tidak ada korupsi, suap-menyuap dan pengkhianatan lainnya, niscaya terwujudlah masyarakat yang baik pula. Di masa kini yang banyak dipertontonkan keburukan dan kedzaliman, saatnya kita mempopulerkan kebaikan dan keteladanan,” ulasnya.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 27,
ثُمَّ يَتُوْبُ اللّٰهُ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-(Nya) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui” (QS. Al-Anfal/8: 27).
“Ini adalah nasihat bagi kami dan kemudian untuk kita semuanya. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga kita dari gangguan syaitan, dan memudahkan bagi kita seluruh jalan bagi terwujudnya cita-cita bangsa dan tujuan bernegara kita, menuju realisasi mencapai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,” tutup khutbahnya. ■ RED/AGUS SANTOSA