SAAT terpilih menjadi Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) pada 9 Oktober 2017 melalui musyawarah bersama para wartawan online seluruh Indonesia di Jakarta, saya langsung mengeluarkan pernyataan bahwa IWO bukan sekadar sekumpulan wartawan online belaka, tetapi anggota IWO adalah pelaku kebudayaan yang harus turut membangun peradaban dan kemanusiaan.
Dua hal inilah yang saya kira harus menjadi perhatian wartawan. Jurnalis bukan hanya penyampai pesan, tetapi juga memiliki kesadaran bahwa dari tulisannya, dari berita yang disiarkannya, akan berdampak besar pada peradaban dan kemanusiaan.
Saya pun segera menyusun kepengurusan dengan mengumpulkan kawan-kawan se-visi. Duduk menjabat sebagai Dewan Kehormatan Pengurus Pusat IWO ada August Parengkuan (alm) dan Pepih Nugraha (keduanya wartawan Kompas) serta Mohammad Sobary (budayawan). Selain tiga nama tersebut, saya juga merekrut seorang anak muda yang memiliki perhatian mendalam terhadap dunia media, dialah DR. Ibnu Mazjah yang saya dudukkan pada jabatan Dewan Pakar IWO.
Dedikasinya yang tinggi terhadap pengetahuan media, membawanya menjadi komisioner di Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Kendari sudah menjadi komisioner di Komisi Kejaksaan, silaturahmi Ibnu dengan IWO tetap intens.
Saya pribadi masih mengikuti jejak intelektual Ibnu melalui diskusi-diskusi kecil maupun rencana beliau yang hendak menulis buku.
Saya senang, sebab Ibnu masih terus merawat kegelisahannya tentang banyak hal. Mulai kehidupan wartawan hingga regulasi pers yang ambigu. Mulai soal hak asasi manusia, hingga
rontoknya dalil Undang-Undang Pers sebagai Lex Specialis.
Saya sependapat dengan Ibnu, betapa
peradaban masyarakat yang kian berkembang dari masa ke masa adalah sebuah keniscayaan dan merupakan proses alam yang tidak dapat terhindarkan. Oleh karena itu, hukum sebagai sarana untuk
menciptakan ketertiban bagi masyarakat sudah seyogyanya dapat menyesuaikan diri.
Perubahan terhadap hukum sudah tentu dimulai dari paradigma masyarakatnya dalam menyikapi perkembangan situasi yang terjadi. Perkembangan peradaban tanpa diimbangi dengan perubahan paradigma seyogyanya disadari akan menyebabkan masyakat menjadi
kerdil dalam hal pola pikir yang pada akhirnya menyebabkan ketertinggalan dalam pergaulan
maupun persaingan dengan bangsa-bangsa lainnya.
Dikaitkan dengan era keterbukaan, dalam sebuah proses penciptaan ataupun rekayasa hukum ideal yang dicita-citakan demi terwujudnya rasa keadilan yang diharapkan, tuntutan terhadap suatu proses yang demokratis dan terbuka terhadap partisipasi publik sepatutnya mendapatkan atensi dari pemangku-pemangku kebijakan.
Lebih-lebih menyangkut isu yang
berkaitan dengan topik pembahasan tentang kemerdekaan pers yang merupakan pengejewantahan dari wujud kedaulatan rakyat. Seluruh stakeholder yang terlibat dan terkait
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk didengar aspirasinya demi kualitas kehidupan
berdemokrasi yang lebih baik.
Saya berharap besar terhadap Ibnu untuk dapat menegakkan hukum yang adil melalui pemikirannya di masa mendatang. Sehingga pada gilirannya nanti, luka insan pers yang masih menganga hingga kini bisa disembuhkan melalui regulasi yang menempatkan pers sebagai penyampai pesan kebenaran yang wajib memperoleh perlindungan sebaik-baiknya.
Sehingga pada gilirannya, para martir pers bisa tidur dalam kedamaian. Seperti Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (18 Februari 1964 – 16 Agustus 1996) wartawan Bernas asal Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.
Berikutnya Wartawan Kemajuan Rakyat, Muhammad Yusuf alias Usuf, 42 tahun, meninggal ketika diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan pada Minggu sore, 10 Juni 2018. Status Usuf sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Kotabaru karena kasusnya sedang berjalan di Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan, setelah sebelumnya mendekam di penjara Markas Polres Kotabaru sejak medio April 2018.
Ia dijebloskan ke penjara karena menulis berita tentang PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) – perusahaan perkebunan sawit milik Syamsudin Andi Arsyad (Haji Isam) di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru. PT MSAM menilai berita itu provokatif dan merugikan perusahaan, sehingga melaporkannya ke polisi.
Selamat berjuang melalui pemikiran dan tulisan, Ibnu. Bukumu niscaya akan menjadi catatan dan bekal bagi perjalanan bangsa ini dalam menempuh peradaban. (***)