JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Perjalanan haji yang kaya dengan nilai-nilai spiritual tersebut harus benar-benar membawa pulang Haji Mabrur. Tentu saja setelah sekian banyak dana yang dikeluarkan dan sekian tahun lamanya harus menunggu. Setelah berkesempatan ke Tanah Suci, jangan pula membawa pulang haji yang Mardud (tertolak).
Hal tersebut di atas dibahas secara detail oleh Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga dikenal sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA, saat memberikan kajian Dzuhur dihadapan ribuan jamaah Masjid Istiqlal, Jakarta.
Menurutnya, ada Haji Makbul (diterima) dan ada pula Haji Mabrur. Haji Makbul hanya memenuhi syarat dan rukun-rukun haji. Kemambruran haji diukur setelah pulang dari Tanah Suci. Menunaikan haji tak cukup hanya dengan Makbul saja. Impian setiap jamaah haji haruslah menjadi haji yang Mabrur. Karena, tak ada balasan bagi Haji Mabrur, selain surga (HR Nasa’i).
Lantas, bagaimana kedudukan haji dalam Islam?
“Melaksanakan pergi Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan bagi yang punya kemampuan. Definisi mampu di sini, maksudnya mampu dari segi fisik, ekonomi, dan sebagainya. Masuk juga cakupan mampu di sini, yaitu aman dalam perjalanan dan objek yang dituju. Walaupun ada kesehatan dan uang, tapi kalau rawan keamanan yang mengancam, hukumnya menjadi tidak wajib. Jadi, haji merupakan pilar Islam. Syariatnya telah lama dimulai semenjak Nabi Ibrahim AS. Jadi, berdosalah orang yang sudah mempunyai kemampuan untuk berangkat haji, tapi masih menunda-nunda”.
Selanjutnya, bekal apa yang harus dimiliki calon jamaah haji?
“Soal bekal untuk menunaikan haji, antara lain materi. Sebut saja seperti keuangan, obat-obatan bagi yang sakit, serta konsumsi khusus yang dianggap cocok bagi jamaah. Di samping itu, bekal berupa pengetahuan Manasik Haji juga penting. Jangan sampai orang yang berangkat haji sudah mengeluarkan biaya dan ongkos sekian banyak, tetapi begitu pulang ke Tanah Air, hajinya ternyata tidak sah.”
Selain itu, menurut KH Nasaruddin Umar, jangan sampai ada syarat atau rukun haji yang tidak ditunaikan. Misalkan, dia tidak melakukan Wukuf di Arafah atau Mabit di Mina. Atau, bisa saja rukun haji yang dilakukannya kurang dari yang semestinya. Misalkan, waktu melontar Jamarat kurang bilangannya. Ini tentu tidak sempurna. Persiapan lainnya yang menjadi bekal adalah persiapan yang cukup bagi keluarga yang di tinggalkan. Jangan sampai kita khusyuk menjalankan ibadah haji, sementara anak-istri kita telantar di kampung halaman.
“Jadi, yang berangkat haji harus mempersiapkan kondisi objektif dan cukup bagi keluarga yang ditinggalkan. Orang yang tidak mampu meninggalkan bekal bagi keluarga yang ditinggalkan termasuk pada kategori tidak mampu berangkat haji. Selain itu, persiapan yang tak kalah pentingnya adalah kelengkapan administratif. Seperti paspor dan dokumen-dokumen hajinya. Berangkat haji harus legal. Demikian pula mendapatkan suntik meningitis untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” urainya, panjang lebar.
Dalam Alquran yang menceritakan ayat-ayat haji disebutkan, “Berbekallah kalian dan sebaik- baik bekal itu adalah takwa,” (QS al-Baqarah [2]: 197).
“Saya menilainy berbekal taqwa di sini, sifatnya lebih makro, yaitu persiapan ke akhirat. Ini bukan hanya untuk urusan haji. Saya lebih cenderung mengartikannya secara general, yaitu perbekalan di dunia untuk ke akhirat,” terangnya.
Nah, siapa saja yang memperoleh gelar Haji Mabrur?
“Jelas, harus dibedakan, karena ada dua istilah yang menyangkut persoalan haji ini. Ada Haji Makbul (diterima) dan ada pula Haji Mabrur. Belum tentu haji yang Makbul ini Mabrur. Tapi, insya Allah setiap haji yang Mabrur pasti Makbul. Haji Makbul hanya memenuhi syarat dan rukun-rukun haji,” ucap KH Nasaruddin Umar.
Bahkan, kata Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut, ia bisa pula memenuhi sunah-sunah yang ada dalam rangkaian ibadah haji. Dan, itu pasti dinilai Makbul sesuai dengan syariat. Tetapi, tidak semua Haji Makbul itu Mabrur. Karena, kemambruran haji diukur setelah pulang dari Tanah Suci. Seberapa bagus dampak dari haji tersebut pada kehidupannya ketika kembali ke Tanah Air. Indikasi Mabrur bisa dilihat dengan interaksi sosialnya. Seberapa bagus komunikasinya dengan suami atau istri, orangtua, anak-anak, tetangga dan karib kerabatnya.
Yang tidak boleh dikesampinkan, dipaparkan KH Nasaruddin Umar, apabila terjadi perubahan spiritual dengan orang-orang di sekelilingnya, mereka merasakan Pak Haji ini betul-betul berbeda setelah pulang dari Tanah Suci. “Inilah indikator Haji Mabrur. Tapi, jika hajinya yang walaupun Makbul tapi sepulang dari Tanah Suci makin pelit, terlibat korupsi dan atau tidak membaik spiritualitasnya. Ini bisa sebagai indikator Makbul tapi tidak Mabrur. Sedangkan, yang kita inginkan adalah keduanya,” tutupnya. ■ RED/AGUS SANTOSA