27.2 C
Jakarta
22 November 2024 - 00:29
PosBeritaKota.com
Syiar

Khutbah Jum’at di Istiqlal, KH. A. NUR ALAM BAKHTIR MA Sorot Soal Etos Kerja & Keikhlasan dalam Islam

JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah SWT yang lain. Manusialah yang sanggup mengemban amanat Allah SWT. Di atas pundaknya terdapat tugas-tugas mulia, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik.

Baik itu kewajiban kepada Khaliqnya (Sang Pencipta) maupun kewajiban terhadap dirinya atau kepada orang lain. Terutama kewajiban kepada orang yang menjadi tanggungjawabnya atau keluarganya. Baik itu tanggungjawab dalam masalah pendidikan maupun nafkah sandang, pangan dan papan sesuai dengan kesanggupan.

Demikian rangkuman materi khutbah Jum’at dari Dr. KH A. Nur Alam Bakhtir MA, sebelum pelaksanaan sholat Jum’at di Masjid Istiqlal, Jakarta, 22 Dzulhijah 1443 H/22 Juli 2022 M. Tidak kurang dari 60 ribu jamaah rutin yang hadir dibuat tercerahkan melalui pembahasan yang menyoroti soal atau mengangkat tema berjudul ‘Etos Kerja dan Keikhlasan dalam Islam’.

“Sedangkan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab tersebut, manusia harus berusaha dan berikhtiar demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya menurut kemampuan yang ada. Kemudian dari mana kebutuhan nafkah itu diperoleh, kalau kita tidak bekerja sambil mengharap rahmat dari Allah SWT. Bekerja yang kita lakukan itu namanya ikhtiar. Dan, sebagai orang beriman, ikhtiar itu harus disertai dengan tawakkal kepada Allah SWT, juga disertai dengan penuh keikhlasan dan kerelaan mengemban tugas mulia, yakni sebagai modal beribadah kepada Allah SWT,’ ucapnya, membuka khutbahnya.

Dipaparkan bahwa bekerja atau berusaha adalah sesuatu yang sangat mulia. Bekerja apa saja asal dengan jalan yang benar dan halal. Selain itu harus disertai dengan tidak mengabaikan kewajiban kepada Allah SWT dan tidak melupakan kepentingan akhirat. Sebab, tidak sedikit orang bekerja untuk mencari kekayaan duniawi, tetapi melupakan kepentingan dan keselamatan ukhwari. Karena sibuk bekerja sehingga mereka rela meninggalkan kewajiban kepada Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya.

Islam itu mendorong umatnya untuk bekerja agar menjadi manusia mulia dan mandiri serta tidak membebani orang lain. Karena itu bekerja tercatat sebagai ibadah karena sebagai bukti menjalankan perintah Allah SWT. Islam juga menghendaki agar kita sebagai muslim hendaknya memiliki etos kerja agar kerja kita tidak sekadar memperoleh hasil maksimal, tapi juga ada tujuan yang lebih mulia dan esensial, yakni munculnya keyakinan kuat bahwa setiap usaha atau pekerjaan apapun akan berakhir menuju Allah SWT,” urai KH. Nur Alam Bakhtir.

Menurutnya lagi ada beberapa ciri umum yang bisa dijadikan ukuran, apakah kita memiliki etos kerja tinggi atau rendah, diantaranya :

ORIENTASI KE MASA DEPAN

Muslim yang beretos kerja tidak hanya bermodal semangat, tapi harus memiliki orientasi ke masa depan. Ia bekerja berdasarkan perhitungan dan rencana yang matang untuk terciptanya masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwlah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertaqwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjaan“. (QS. al-Hasyr/59:18).

Tentunya, sebagai seorang Muslim, orientasi kerjanya tidak hanya terbatas pada kehidupan di dunia, tapi juga demi membangun kehidupan akhirat. Seluruh aktifitas kerja di dunia harus disadari sebagai perjalanan menuju kehidupan akhirat yang hakiki.

Seorang Muslim yang beretos kerja memang harus berorientasi masa depan. Tetapi jika orientasinya terbatas di dunia, maka akan melahirkan sikap yang kontraproduktif dari kesungguhan bekerja. Sikap ini hanya akan melahirkan para pekerja-pekerja keras yang berjiwa sekuler. Bahkan bukan mustahil cenderung serakah dan egois.

KERJA KERAS

Anjuran Al-Qur’an untuk bekerja keras bisa dipahami dari firman Allah SWT yang artinya : “Katakanlah (Nabi Muhammad SAW), Bekerjalah! Maka, Allah SWT, Rasul-NYA dan orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan”. (QS. al-Taubah/9: 105).

Al-Qur’an selalu memotivasi setiap pemeluknya untuk senantiasa berkreasi dan berinovasi. Bahkan, Islam memberi landasan yang mendasar bahwa sebuah kerja keras harus dilandasi niat yang benar serta sadar bahwa setiap prestasi kerja kita akan dinilai oleh Allah SWT, Rasul dan orang beriman.

Bahkan di dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa seseorang akan dicintai oleh Allah SWT, jika mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan, optimal dan mempersembahkan karya yang terbaik. Hadis tersebut yang artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang bekerja dengan tekun. (Bekerja secara maksimal dan profesional)”.

Bekerja secara profesional juga menjadi salah satu ciri orang yang dicintai Allah SWT, sebagaimana hadis yang artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang bekerja“. (HR. Baihaqi dari Salim dari bapaknya).

Diutarakan KH. A. Nur Alam Bakhtir bahwa hadis tersebut jelas memberi apresiasi kepada setiap Muslim yang bekerja dan berusaha. Islam membenci umatnya yang menganggur dan berpangku tangan menunggu belas kasihan dari orang lain. Bahkan sahabat Umar bin Khattab pernah berkata : “Saya benci melihat salah seorang dari kalian menganggur tidak melakukan pekerjaan yang menyangkut dunianya tidak pula kehidupan akhiratnya. Islam tidak pernah membatasi pekerjaan seseorang. Yang penting halal.

Islam pun, lanjutnya, juga tidak pernah mengukur kualitas pekerjaan dari hasilmya, tapi dari sisi kountinitasnya. Seperti dalam sebuah hadis yang artinya : “Bekerjalah semaksimal mungkin yang kamu bisa lakukan, karena sesungguhnya Allah SWT tidak pernah bosan sampai kalian bosan sendiri. Hanya saja, amal perbuatan yang paling dicintai Allah SWT adalah sedikit namun kontinu atau sering dan berkesinambungan“. (HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah).

MENGHARGAI WAKTU

Menurutnya, Islam juga mengajarkan kepada umatnya agar setiap detik dan waktunya harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat seperti diisyaratkan oleh Al-Qur’an Surah al-Asr ayat 1-3 yang artinya : “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran“.

“Manusia aka mengalami kerugian jika tidak benar-benar memanfaatkan secara optimal kesempatan hidupnya, sebab waktu tidak akan berulang. Dan, dalam menjalani waktu pasti ada naik dan turunnya. Karena itu, orang yang beretos kerja tinggi akan selalu mampu mengisi waktunya dengan hal-hal yanf lebih penting dan esensial : meningkatkan keimanan, beramal saleh dan membina, sebagaimana gambaran ayat di atas.

BERTANGGUNGJAWAB

Etos kerja tinggi yang dimiliki seorang Muslim tidak hanya ditunjukkan dalam hal keseriusannya dalam pekerjaan namun semuanya dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggungjawab. Seorang Muslim yang beretos kerja harus berani menanggung setiap risiko apapun atas segala yang diperbuat, setelah melalui perhitungan dan pemikiran yang mendalam.

Selanjutnya, ia juga harus berani menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ia tidak boleh mencari perlindungan ke atas dan melemparkan kesalahan ke bawah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’an yang artinya : “Allah SWT tidak membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesutu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas kejahatan yang diperbuatnya.” (QS. al-Baqarah : 286).

“Namun, pada akhirnya serangkaian pekerjaan yang kita lakukan mensyaratkan keikhlasan bekerja tidak melulu soal mencari uang dan keuntungan. Tapi, lebih daripada itu, adalah kewajiban seorang manusia kepada Allah SWT untuk bekerja, untuk mencari nafkah serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya,” urainya, panjang lebar.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi yang artinya : “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima sebuah amal kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap wajah Allah SWT.” Kemudian : “Berapa banyak amal-amal kecil menjadi besar karena niatnya (yaitu kadar keikhlasannya). Dan, berapa banyak amal-amal besar menjadi kecil di sisi Allah SWT, juga karena kadar keikhlasannya.”

Pada bagian akhir khutbahnya, KH A. Nur Alam Bakhtir, menyatakan bahwa berbicara keikhlasan, ada dua sisi. Pertama, ikhlas merupakan syarat diterimanya sebuah amal. Kedua, ikhlas merupakan salah satu barometer tinggi rendahnya sebuah amal. Semakin tinggi kadar keikhlasan, maka akan semakin tinggi di sisi Allah SWT. “Jadi yang dinilai – dipandang dan dilihat oleh Allah SWT adalah kadar serta kualitas keikhlasan kita,” tutupnya. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

CERAMAH RAMADHAN MALAM KE-22, USTADZ SAEFUL AZIZ SEBUT HIKMAH PUASA AJARKAN KITA PEDULI DENGAN SESAMA

Redaksi Posberitakota

Demi Raih Pahala Ramadhan yang Sempurna, HABIB SHOLEH Ajak Kita Melatih Diri di Bulan Sya’ban

Redaksi Posberitakota

Khutbah di Masjid Al-Azhar Bekasi Kota, USTADZ H MOHAMMAD RIFKI LC Sebut Nikmat Kemerdekaan Itu Seluas-luasnya untuk Kesejahteraan

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang