JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Melalui kajian program ‘Hikmah‘ di Masjid Istiqlal, Alfaqir Ilallah H. Ahmad Mulyadi SE.I bicara hakekat ‘Manusia yang Luhur‘, jelang digelarnya sholat berjamaah Jum’at 26 Shafar 1444 H/23 September 2022 M. Sebanyak ratusan jamaah nampak ikut serta dalam kajian tersebut.
Membuka kajiannnya, H. Ahmad Mulyadi menyampaikan bahwa mencermati secara seksama terkait berbagai kelebihan dan keistimewaan bagi makhluk yang diproyeksikan sebagai khalifatullah di muka bumi, manusia diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam bentuknya yang terbaik.
Bila diuraikan, lanjut ceramahnya, maka makhluk bernyawa di muka bumi terdiri tiga bahan dasar dalam penciptaannya yaitu : air, tanah dan ruh. Selama unsur tersebut terpenuhi dan ada, seyogyanya makluk di muka bumi ini dapat melanjutkan kehidupannya.
“Dengan berbagai daya dan upaya dilakukan untuk bertahan dan menjaga kelangsungan hidup, dimana tidak menutup kemungkinan berbagai cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan jasadiyah (fisik) dan bahkan terkadang cara yang tidak lazim hingga dengan kanibalisme yang bercirikan hayawaniyah,” urai H. Ahmad Mulyadi.
Namun bagi manusia itu sendiri, Allah subhanahu wata’ala lengkapi dengan tiga unsur, yaitu : unsur badan dan jasad (jasad), unsur nyawa (nafs) dan unsur roh (ruh). Bahkan lebih lanjut Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin, menguraikan ada empat unsur metafisik yang dimiliki oleh seseorang manusia, yaitu : ruh, jiwa, akal dan qalbu atau hati.
Ditambahkan bahwa bekal penting pembeda bagi manusia, maka kelengkapan aqliyyah, bathiniyah, ruhaniyah dan ketajaman metafisik semakin memperkuat posisi manusia sebagai khalifatullah untuk selalu dapat dekat dan terkoneksi dengan cahaya ketuhanan (ilahiyah) secara vertikal yang membimbing dalam menjalankan amanah yang diemban dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam serta kehidupan di muka bumi secara horizontal.
Menurutnya lagi bahwa sosok manusia yang eksis pada jalan kemuliaan dengan berpegang pada petunjuk dan terapan tata ibadah maupun hukum yang sampai dan diterimanya, terpancar darinya nilai positif dalam mencapai kedudukan bermartabat luhur sebagai citra ketuhanan di bumi. Yang selalu patuh, tunduk, tha’at, menebar kebaikan, kedamaian dan kasih sayang. Dan, pada hakekatnya, ia adalah manusia makhluk yang berakal budi, berkehendak bebas dan berhati nurani. Yang secara konsisten sebagai ‘ibadulah‘ di jalur kebenaran menyayangi dirinya dan sekitarnya.
“Jika ingin disayang Tuhan, maka sayangilah Ciptaan-NYA dan mulialah berbuat baik kepada siapa dan apa saja, kapan dan dimanapun untuk dapat menebar bakti dan keluhurannya, sehingga tercatat sebagai golongan ibadalllah ash-shalihin,” tutur H. Ahmad Mulyadi.
Bahkan, tambah dia, secara inklusif bersikap menerima diri sendiri, orang lain dan sekitarnya sebagaimana adanya. Tidak memaksakan dan menyadari akan kelemahan, kekurangan serta keniscayaan diri yang penuh dengan keterbatasan, menggambarkan sikap menghormati martabat luhur manusia.
“Setiap keputusan yang diambil, langkah dan perbuatan hendaknya terarah sehingga menyadarkan serta dapat mempertanggung – jawabkannya. Menggambarkan sosok indivindu yang memiliki sifat rasional yang bertanggungjawab atas tingkah laku intelektual dan sosial,” tegasnya, lagi.
Pada bagian akhir, H. Ahmad Mulyadi menyampaikan bahwa apapun yang diciptakan untuk menyertainya dan dibekali baginya seperti alam yang merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia akan dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya serta diolah untuk tujuan kemuliaan. Kemudian, pada gilirannya menjadi sarana bakti dan amal untuk membuktikan tujuan hidupnya sebagai abdullah.
“Kesinambungan dan keselarasan akal, fikir, hati, ucap, amal dan perbuatan manusia sebagai hamba Allah SWT. Tentu dengan tuntutan menghantarkannya pada puncak pribadi luhur yang menjadi dambaan setiap manusia saat hadir di muka bumi ini yang menyayangi dan disayangi serta mulia dan dimuliakan,” ucapnya.
Hal di atas tentunya bukan tanpa usaha, jerih payah, keringat dan perjuangan atau cukup dengan termenung serta santai. Yang akhirnya terlena, sirna dan binasa, tidak memberi andil kebaikan, bahkan lebih suka merusak sistem dan tatanan. “Jangan jadikan hidup diam atau menonton saja, hingga hampa tanpa nilai bak pepesan kosong. Wa Allahu A’lam,” tutup H. Ahmad Mulyadi SE.I. □ RED/AGUS SANTOSA