JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Kajian-kajian melalui ‘Program ‘Hikmah‘ yang digelar setiap sebelum pelaksanaan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta, banyak memberikan pencerahan ke jamaah yang hadir. Seperti yang disampaikan Ustadz Saparwadi Nuruddin Zaen yang mengangkat tema ‘Pelajaran dalam Kisah Fir’aun‘, Jumat 19 Rajab 1444 Hijriyah/10 Februari 2023 Masehi.
Dalam pembukaan kajiannya, Ustadz Saparwadi memaparkan bahwa kita sering mendengar kata Fir’aun. Memberi gelar atau memanggil seseorang dengan gelar Fir’aun, kadang memberi kesan keburukan dan penghinaan. Tetapi, mengutip Tafsir Al-Mishbah, tidak demikian makna dan tujuan kata itu ketika diucapkan oleh Nabi Musa AS dihadapan penguasai Mesir itu.
“Karena jika kata Fir’aun beliau ucapkan dengan tujuan pelecehan, maka tentulah beliau tidak melaksanakan tuntutan Allah SWT kepadanya dan kepada pembantu beliau Nabi Harun AS,” ungkap Ustadz Saparwadi.
Dalam Al-Qur’an dikisahkan : Dan Musa berkata, “Wahai Fir’aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam” (QS. Al-A’raf/7:104). Rabbul ‘alamin (Tuhan seru sekalian alam) oleh Nabi Musa AS yang ditujukan kepada Fir’aun adalah sebagai tuhan pemelihara rakyat Mesir.
“Tetapi dia (Fir’aun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian, dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Kemudian dia mengumpulkan (pembesar – pembesarnya) lalu berseru (memanggil kaumnya). (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS. An-Naziat/79: 21-24).
Agaknya, dari ayat tersebutlah sebagian para pakar menafsirkan bahwa puncak keliruan Fir’aun adalah mengaku sebagai tuhan. Walaupun dalam literatur bahwa rakyat Mesir pada saat itu, mempercayai tuhan laim. Dalam Al-Qur’an dikisahkan: “Dan para pemuka dari kaum Fir’aun berkata, “Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?”
(Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka” (QS. Al-A’raf/7:127).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Fir’aun adalah gelar bagi penguasa Mesir, baik yang berasal dari bangsa Amalik maupun yang lainnya. Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah, istilah Fir’aun digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk penguasa Mesir yang bersikap angkuh dan kejam.
Digambarkan bahwa penguasa Mesir pada masa Nabi Musa AS tidak digelari dengan Fir’aun, tapi Malik/Raja. Diriwayatkan pula bahwa Fir’aun yang hidup pada masa Nabi Musa AS bernama Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada juga yang menyebut Mush’ab bin Rayyan.
Ia berasal dari silsilah ‘Imlik bin ‘Aud bin Iram bin Sam bin Nuh, julukannya adalah Abu Murrah, aslinya berasal dari Istakhar, Persia. Thahir Ibnu ‘Asyur menukil pendapat yang menyatakan bahwa gelar itu berasal dari bahasa Mesir Kuno, yakni bahasa Qibti yaitu Farah. Huruf H pada akhir kata itu asalnya adalah huruf ‘Ain.
Masyarakat Mesir Kuno menyembah matahari yang mereka namai tuhan Ra‘ dan dengan demikian Farauh/Fir’aun berarti cahaya Matahari. Sebagian para pakar sejarah menyatakan bahwa Fir’aun yang memerintah pada masa Nabi Musa AS bernama Marenptah. Ia adalah seorang penguasa dinasti ke sembilan belas, sekitar tahun 1491.
Selanjutnya, sebagian besar para pakar berpendapat bahwa pada masa Ramsis II inilah terjadi penindasan terhadap Bani Israil sehingga mereka dipekerjakan secara paksa. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, diriwayatkan bahwa Fir’aun pernah bermimpi melihat api keluar dari Baitul Maqdis. Api itu memasuki rumah orang Qitbi di Mesir.
Dikisahkan Ustadz Saparwadi bahwa kisah Fir’aun terkait dengan Bani Israil. Allah SWT dalam Al-Qur’an mengingatkan Bani Israil atas nikmat yang luar biasa. Bisa selamat dari rezim Fir’aun. Bahkan, Bani Israil bersama Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir, meski Fir’aun bersama pengikutnya terus mengejar. Tapi Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan oleh Allah SWT.
Pada bagian akhir kajiannya, disebutkan kisah-kisah umat terdahulu dalam Al-Qur’an bertujuan agar bisa diambil pelajaran. “Sungguh pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal sehat. Al-Qur’an bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan merupakan pembenar (kitab-kitab) sebelumnya. Memerinci segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(QS Yusuf/12: 111) □ RED/AGUS SANTOSA