OLEH : AGUS SANTOSA
PEMILU 2024 sudah didepan mata. Tepatnya pada 14 Pebruari mendatang, seluruh masyarakat Indonesia yang telah mempunyai hak pilih, bakal menetapkan pilihannya pada salah satu pasangan calon (Paslon) Capres/Cawapres dengan cara mencoblos di bilik suara. Siapa yang jadi pilihan sesuai hati nurani?
Jika mau jujur beranalisa, rasanya tak gampang memang untuk menentukan siapa calon pemenang di Pilpres 2024 nanti. Meski banyak acuan dari lembaga survei. Namun kentara sekali subjektifitasnya, juga lantaran lembaga-lembaga survei yang banyak bertebaran – patut diduga mendapat siraman dana dari pihak Paslon yang siap bertarung.
Manakala ada satu, dua atau tiga lembaga survei begitu mengunggulkan pasangan dengan nomor urut 02 misalnya, tapi justru berbanding terbalik dengan lembaga survei yang diyakini lebih independent. Ada yang menyebut Paslon 03 atau 01 keterpilihannya dapat melampaui Paslon 02.
Skema permainan lewat lembaga survei, tentu agar dapat mempengaruhi publik agar condong atau untuk memilih Paslon yang diunggulkan. Hal itu bukanlah rahasia umum lagi. Padahal, dalam dua bulan terakhir, bisa disebut dari ketiga Paslon sangat fleksible untuk mendapatkan suara dari konstituen (pemilih-red) dengan kemungkinan merata.
Hanya sayangnya dari situasi yang ada, masih belum bisa dipastikan Paslon 01 unggul dari Paslon 02 atau sebaliknya. Begitu pula soal Paslon 02 bakal memang satu putaran, karena mampu menggerus suara Paslon 03 atau 02, jelas tak bisa dijadikan pembenaran lantaran harus mengacu pada lembaga survei yang ada.
Dalam pemetaan wilayah, dimana Pulau Jawa dengan memiliki 4 provinsi yang meliputi DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim – justru terlihat mencair untuk penyebaran suara pemilih. Terlebih saat ini sangat merata, jika dilihat dari partai politik (Parpol), pun mereka sudah sangat menyebar di wilayah-wilayah kabupaten maupun kota di seluruh Indonesia.
PAN dan PKS pernah disebut cukup besar di wilayah Jabar. Juga PDIP di wilayah Jateng dan Jatim, tapi Partai NasDem dan PKB justru mengalami perkembangan signifikan dalam hal keangggotaan partai. Belum lagi PPP yang berbasis suara Islam, terlihat sangat merata di 3 wilayah provinsi di atas, kecuali di DKI Jakarta.
Setelah ada sekitar dua bulanan belakangan, penulis mencoba berdialog dengan berbagai kalangan masyarakat, beragam pendapat yang bisa direkam dari mereka. Tak hanya soal Pilpres 2024 yang diduga dan dikhawatirkan bakal terjadi kecurangan di sana-sini. Tapi, juga bagaimana komentar mereka, terkait 3 sosok Capres yang maju saat ini?
Capres 01 Anies Baswedan yang mayoritas dibilang sangat memberikan harapan baru bagi masa depan Indonesia. Anies = Harapan Baru. Apalagi dengan mengusung tekad ‘Perubahan‘. Sejumlah visi dan misi, telah dibeberkan ke masyarakat. Termasuk melalui kehadirannya di program ‘Desak Anies‘ lewat kampus-kampus di Tanah Air.
Anies Baswedan yang kadang didampingi Cawapres Muhaimin Iskandar, berhadapan langsung dengan kalangan akademisi, mahasiswa/mahasiswa serta kalangan pelajar. Termasuk Generasi Millenial dan Gen Z. Dari situlah, Capres/Cawapres yang diusung koalisi Partai NasDem, PKS dan PKB – berdialog dengan semua elemen masyarakat yang bisa ditarik sebagai pemilihnya di Pilpres 2024 nanti.
Capres 02 Prabowo Subianto malah dapat sentimen negatif di mata mereka. Saat Pilpres 2014 dan 2019, begitu dicintai dan didukung masyarakat, kini malah kontra produktif, setelah dua periode masuk ke kabinet di Pemerintahan Presiden Jokowi – yakni sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Program-progam Menhan terkait pembelian alat-alat perang (Alustista) bekas, juga banyak disorot. Termasuk program Food Estate yang terbilang gagal. Seharusnya menanam singkong, tapi hasil yang dipamerkan malah tanaman jagung. Berkat informasi atau pemberitaan di media massa dan sosial media (Sosmed), hal tersebut karuan saja tidak bisa ditutup-tutupi.
Tak salah jika kemudian mereka berkomentar, sudahlah ‘Prabowo = Masa Lalu’. Pasalnya, sudah ada perubahan sikap, dimana melalui pernyataan-pernyataannya justru terkesan sangat ambisius mengejar kekuasaan. Rasanya, pendapat masyarakat yang mencuat di hari-hari jelang pelaksanan Pilpres 2024, juga tak bisa terbantahkan.
Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka yang lolos karena akibat keputusan Makhamah Konstitusi (MK) yang masih debatebel di masyarakat, ikut mempengaruhi sikap masyarakat. Dukungan kepada sosok Prabowo, menjadi kendor karena dituding telah menabrak konstitusi hukum melalui lembaga MK.
Capres 03 Ganjar Pranowo, meski tak terlalu keras mendapat sentimen negatif dari calon pemilih, tapi penampilannya dalam setiap kesempatan, justru masih dibawah Capres 01 Anies Baswedan dan Capres 02 Prabowo Subianto. Kader senior PDIP yang akhirnya di-Capres-kan tersebut, masih belum menguat. Kenapa? Karena, terlalu mengandalkan dari kader partai berlambang kepala banteng moncong putih, partisan dan juga relawan.
Sedangkan dari kalangan Generasi Millenial atau Gen Z maupun Emak-emak, tak terlihat dukungannya secara signifikan. Berbeda dengan Capres 01 Anies Baswedan dan Capres 02 Prabowo Subianto. Keduanya tercatat mampu menggaet dari kalangan tersebut. Kalangan eksekutif, terpelajar dan yang terlibat di dunia keagamaan pun, justru jauh lebih simpatik kepada Capres 01 Anies Baswedan.
Jangan kaget jika kemudian muncul ungkapan ‘Ganjar = Tunggu Dulu’. Maksudnya, tidak di Pilpres 2024 ini, ketokohan Ganjar Pranowo belum memiliki ‘nilai jual’ yang kuat. Mungkin di Pilpres-Pilpres berikutnya. Kendati didampingi sosok Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, juga masih sulit untuk terangkat elektabilitasnya.
Sebagai penutup, bicara urusan Pilpres memang tak bisa dihitung lewat matematika : 1 + 1 = 2 atau berdasar hitungan hasil survei yang ada. Kesemua itu, tentu saja, bakal dibuktikan lewat partisipasi masyarakat Indonesia di hari ‘H‘ pencoblosan pada Rabu 14 Pebruari mendatang. Selanjutnya, bagaimana para pelaksana dan pengawas Pemilu (Pilpres 2024) besok, mau ikut mengawasi prosesnya agar ‘Luber dan Jurdil‘? Semoga!!!! (***)
(PENULIS adalah pemerhati masalah politik dan wartawan yang pernah bekerja di Harian POSKOTA selama 30 tahun sejak 1989 – 2019)