Tanggapan Tulisannya di Group WA Aktivis Partai, KEDUNGUAN BERPIKIR INAS ZUBIR

OLEH : AGUNG GIANTORO

TULISAN ini coba mencerdaskan cara berpikir dungu dari seorang yang mengaku politisi senior Partai Hanura bernama Inas Zubir, yang tulisannya beredar di grup-grup WhatsApp (WA) aktivis partai.

Ada tiga ‘kedunguan‘ yang ia kemukakan dalam tulisan tersebut :

1). Terminologi koalisi dan kerjasama politik

Bung Inas mempermasalahkan penggunaan terminologi ‘Koalisi’ dan “Kerjasama’ politik, yang pernah disebutkan Ketum Hanura (Dr. Oesman Sapta Odang) alias OSO yang kemudian dikemukakan Ketum PDIP (Megawati Soekarnoputri) saat Rakernas PDIP di Ancol beberapa hari yang lalu.

Ada dua point yang perlu dipahami oleh Bung Inas :

a). Ilmu politik termasuk dalam rumpun ilmu sosial. Dimana definisi dari sebuah terminologi / kosakata dalam ilmu politik tidak bisa dihakimi dalam perspektif sempit dan kaku, seperti dalam ilmu eksata (Fisika, Kimia, Biologi, Matematika).

Satu istilah dalam ilmu politik bisa memiliki puluhan bahkan ratusan definisi, tergantung pakar / ilmuwan yang memberikan definisinya. Contoh definisi ‘Negara‘ ada puluhan pakar yang mengkonseptualisasinya.

Di antaranya Roger H Soltau, Harold J Laski, Robert MC Iver, Max Weber, Karl Marx hingga Meriam Budiharjo.

b). Apa yang dikatakan OSO bahwa Hanura tidak berkoalisi, melainkan kerjasama dengan PDIP dalam mengusung Ganjar – Mahfud di Pilpres 2024 lalu adalah bentuk kecerdasan politik praktis sekaligus akademis.

Hal tersebut diamini Megawati saat pidatonya di Rakernas PDIP di Ancol. Kalau Bung Inas mempelajari praktik politik dan ketatanegaraan di banyak negara modern sejak abad 20 dan 21 sekarang.

Memang nyaris tidak dikenal terminologi ‘Koalisi‘ dalam praktik politik di negara-negara yang menganut sistem Presidensial (Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan).

Dimana Indonesia jelas menganut sistem Presidensial (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).

Contoh di Pilpres Amerika Serikat, apakah ramai penggunaan istilah koalisi partai dalam mengusung kandidat Presiden? Begitu juga di Argentina, Brasil atau Filipina yang menganut sistem Presidensial.

Detik News pernah menurunkan artikel berita berjudul ‘Kata Ahli Hukum Soal Koalisi : RI sistem Presidensial, bukan Parlementer’, pada tanggal 28 April 2023.

“Dalam sistem Presidensial seperti di Indonesia tidak dikenal Koalisi. Koalisi hanya dikenal di sistem Parlementer,” kata pakar hukum tata Negara UNS Solo, Agus Riewanto.

Konstitusi kita tidak mengenal Koalisi dan dalam konsep hukum Tata Negara Koalisi itu digunakan di sistem Parlementer. Kita harus ingat Pasal 4 UUD 1945 dan Pasal 17 UUD 1945. Memang tidak ada Koalisi tapi yang ada kerjasama dalam pemenangan Pilpres,” kata Dr. Oce Madril (Dir. Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Pemerintahan – PUSHAN).

2). Hanura dinilai telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP

Penilaian Bung Inas bahwa Hanura telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP, karena pernyataan OSO bahwa Hanura akan terus bersama PDIP. Merupakan bentuk kedunguan kedua dari seorang yang mengaku politisi senior.

Justru statemen OSO itu merefleksikan political virtue (kebajikan nilai-nilai ideal politik yang selama ini sering ditanggalkan dalam praktik dunia politik kita). Yaitu nilai loyalitas dan kesetiakawanan dalam memperjuangkan idealisme politik.

Selama ini politisi-politisi kita terjebak dalam hyper pragmatisme politik. Segala sesuatu motif dan tindakan politik diukur oleh jabatan (kekuasaan) dan uang (kekayaan).

Ketika dalam koalisi atau kerjasama tidak berhasil mendapatkan dua hal tersebut, maka meninggalkan kawan koalisi adalah sebuah keniscayaan.

Keputusan Hanura untuk terus bersama dengan PDIP, tentu memiliki pertimbangan strategis, yang lebih mengutamakan perjuangan mewujudkan visi politik kebangsaan jangka panjang. Bukan sekedar untuk dapat jatah menteri atau komisaris BUMN.

Kata-kata kasar (sarkasme) Bung Inas, bahwa Hanura telah menjadi ORSAP dan kacung PDIP, membuktikan kedunguan politik seorang Inas Zubir. Hanura jelas partai independen (yang memiliki AD/ART sendiri, organisasi sendiri, kader – anggota), PDIP pun demikian.

3). Selesai Pilpres, koalisi atau kerja sama harusnya berakhir

Bung Inas juga mengatakan, “dengan kalahnya pasangan GanjarMahfud yang diusung PDIP, Hanura, Perindo dan PPP, maka berakhir juga koalisi atau kerjasama mereka”. Statemen ini adalah bentuk kedunguan berikutnya dari seorang Inas Zubir. Tak ada regulasi (UU) atau kaidah umum, tentang harus bubarnya koalisi atau kerjasama politik ketika kalah di Pilpres. Semua partai memiliki kebebasan dalam menentukan sikap politiknya, apakah akan bubar atau terus kerjasama.

Justru kalau ada kumpulan partai (koalisi atau kerjasama) yang tetap terus bersama walaupun kalah di Pilpres, berarti kumpulan partai tersebut (PDIP, Hanura, Perindo, PPP) adalah partai-partai yang lebih mengedepankan idealisme politik (visi kebangsaan) ketimbang pragmatisme politik sempit (jabatan dan uang).

Kedewasaan dan kecerdasan berpolitik seorang politisi, tidak hanya ditentukan pengalaman, namun juga luasnya wawasan dan banyaknya bacaan.

Semoga akan banyak lahir politisi intelektual dan bukannya politisi bebal. (***)

(PENULIS : AGUNG GIANTORO adalah POLITISI MUDA PARTAI HANURA, kini tinggal di Jakarta)

Related posts

Masuk Sepekan Jelang Lengser dari Jabatan Presiden RI, JOKOWI ‘Lakon Pangkas Wajah’

Periode 2024 – 2029, FRAKSI PKS Dominasi Pimpinan Komisi di DPRD DKI Jakarta

Ah…Drama Fufufafa, CERMIN SATIR yang Menampilkan Realitas Sebenarnya