28.2 C
Jakarta
24 December 2024 - 20:26
PosBeritaKota.com
Nasional Opini

Minta Tunda, Tolak atau Mendukung, RAKYAT Perlu Tahu Sikap DPD RI Atas Rencana Kenaikan PPN 12 Persen

OLEH : SUGIYANTO (SGY) – EMIK

KEBIJAKAN kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen kembali menjadi sorotan publik, terutama karena dampaknya yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Di tengah polemik ini, sikap Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menjadi penting sebagai representasi aspirasi daerah dan rakyat yang diwakilinya. Apakah DPD RI akan meminta kebijakan ini ditunda, menolaknya secara tegas, atau justru mendukungnya dengan alasan tertentu?

Kenaikan PPN ini bukanlah kebijakan baru. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang mengatur kenaikan bertahap dari 10 persen ke 12 persen, telah disahkan sejak periode pemerintahan sebelumnya. Namun, perdebatan kembali mengemuka karena implementasi kenaikan ini bertepatan dengan kondisi ekonomi yang masih rapuh pasca-pandemi, di tengah lonjakan harga barang pokok yang membuat daya beli masyarakat melemah.

Bagi pemerintah, kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting untuk meningkatkan pendapatan negara, menopang anggaran, dan mendanai program-program prioritas seperti pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Selain itu pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang tertentu (barang mewah) dan tidak akan dikenakan pada kebutuhan vital masyarakat sesuai daftar yang telah ditetapkan.

Namun kritik muncul dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan beberapa partai politik. Mereka menilai bahwa kenaikan ini kurang tepat waktu dan tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat yang masih berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Selain itu, rakyat merasa bahwa kenaikan PPN 12 persen tetap akan berdampak pada peningkatan harga barang. Terlebih lagi, situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, ditambah lonjakan harga kebutuhan pokok, semakin membuat masyarakat terbebani.

Dalam konteks dukungan politik menang terjadi ironi, dimana sikap partai PDIP yang kini menentang kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar. Sebagaimana disampaikan oleh beberapa politisi, bahwa kenaikan PPN 12 persen adalah hasil dari keputusan politik di masa lalu, di mana partai-partai pendukung pemerintah sebelumnya, termasuk PDI Perjuangan, memiliki andil besar dalam pengesahan Undang-Undang HPP.

Oleh karena itu, perubahan sikap yang tiba-tiba dari PDIP memunculkan kesan politis, seolah tanggung jawab atas kebijakan tersebut kini dilemparkan kepada pemerintahan saat ini. Namun saya menilai, bagi PDIP mungkin menyakini untuk saat ini menolak kenaikan PNN 12 persen adalah pilihan yang tepat.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto, yang kini memimpin pemerintahan, menghadapi tantangan besar. Meski memiliki kewenangan untuk meninjau ulang atau menunda pelaksanaan kenaikan PPN, keputusan ini tidak dapat diambil tanpa mempertimbangkan konsekuensi fiskal. Menunda kenaikan PPN berarti mencari sumber pendapatan alternatif atau melakukan efisiensi anggaran yang signifikan untuk menutup potensi defisit.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah seharusnya menjadi solusi untuk menopang anggaran negara tanpa harus membebani rakyat. Namun, masalah utama yang dihadapi adalah pengelolaan yang buruk dan praktik korupsi yang masih merajalela. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo telah menegaskan komitmennya untuk membersihkan aparat negara dari praktik korupsi. Ancaman tegas terhadap koruptor, termasuk wacana pengembalian aset negara yang dicuri, dapat menjadi langkah awal yang signifikan untuk menutup kebocoran anggaran.

Solusi alternatif lain yang dapat dipertimbangkan pemerintah adalah penerapan pajak kekayaan (wealth tax) atau pajak karbon, yang menyasar individu dan sektor tertentu dengan kemampuan finansial lebih besar. Optimalisasi penerimaan dari sektor ekonomi digital dan pajak windfall pada komoditas juga dapat menjadi langkah yang lebih adil dan efektif daripada membebani seluruh lapisan masyarakat dengan kenaikan PPN.

Selain itu, efisiensi belanja negara juga menjadi langkah penting. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memiliki dampak positif bagi rakyat. Evaluasi menyeluruh terhadap anggaran belanja, terutama pada pos-pos yang tidak produktif, perlu dilakukan untuk mengalihkan dana tersebut ke sektor yang lebih prioritas.

Dalam kondisi saat ini, sikap DPD RI sangat dinanti oleh masyarakat. Sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah, DPD RI memiliki peran strategis untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah pusat. Apakah mereka akan mendukung kenaikan ini, meminta penundaan hingga kondisi ekonomi membaik, atau bahkan menolak sepenuhnya, harus disampaikan secara jelas dan tegas.

Harapan masyarakat sederhana: kebijakan apa pun yang diambil pemerintah haruslah berpihak kepada rakyat. Pajak, dalam bentuk idealnya, seharusnya menjadi alat untuk membangun bangsa, bukan beban yang menindas. Dengan pengelolaan kekayaan negara yang transparan dan adil, serta komitmen untuk memberantas korupsi, beban pajak dapat diminimalkan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Pada akhirnya, langkah bijak adalah memastikan kebijakan ini tidak hanya adil secara fiskal, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. DPD RI diharapkan mampu menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dalam mengambil sikap atas rencana kenaikan PPN 12 persen ini. © (***/goes)

(PENULIS : SUGIYANTO (SGY) EMIK adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)/ Pendukung-Relawan Independen Calon Presiden Prabowo Subianto pada Pilpres 2019-2024)

Related posts

Terima Penghargaan di Surabaya, DOKTER AYU Makin Termotivasi Kelola Widya Aesthetic Clinic

Redaksi Posberitakota

PADA ‘YAUMUL QIAYAMAH’, SEMUA MULUT MANUSIA TAK BISA BERBICARA SAAT DIHISAB DI HARI KEBANGKITAN SETELAH KEMATIAN

Redaksi Posberitakota

Mulai April Ini, KA BANDARA Melayani Sampai Tujuan Bekasi

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang