JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, membuktikan adanya teror terhadap pelemahan penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di negara ini.
“Ini tidak bisa dibiarkan dan agar tidak berlarut-larut, polisi harus mampu mengungkap tindakan sadis tersebut,” ucap pengamat hukum Stefanus Gunawan SH MH.
Ketua Komite Bidang Pendidikan dan Pengembangan Profesi Advokat Peradi kubu Juniver Girsang ini juga menyatakan keprihatinannya. “Banyak spekulasi yang muncul di tengah masyarakat tentang motif dibalik kasus tersebut,” katanya.
Namun ini semua bisa terjawab, setelah polisi berhasil menangkap pelakunya dan membawanya sampai pengadilan,” tambah pengurus Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) DPC Jakarta Barat tersebut.
Menurutnya bukan dirinya saja yang prihatin atas musibah yang menimpa Novel Baswedan selaku penyidik KPK. “Sebab, hal ini bukan pertama kali Novel mengalami serangan seperti ini. Peristiwa ini menunjukan ancaman terhadap aparatur penegak hukum dalam mengungkap kasus mega korupsi semakin meningkat,” tegasnya.
Advokat yang pernah menerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari Anugerah Indonesia dan ‘Asean Development Citra Award’s’ dari Yayasan Gema Karya ini melihat serangan terhadap Novel kali ini tidak bisa dianggap enteng.
“Saya melihat ini bukan tindak pidana biasa, karena kita semua tahu siapa Novel Baswedan. Tindakan penyiraman dengan air keras terhadap Novel adalah bentuk teror terhadap penegak hukum,” ucapnya.
Yang jelas, tambahnya, penyiraman air keras terhadap Novel jangan dianggap enteng. Polisi harus segera mengusut hingga tuntas kasus ini. menyatakan bila hal ini tidak segera diselesaikan bisa menjadi preseden buruk. Sebab hal ini penting, untuk memberikan rasa aman bagi para penegak hukum lainnya.
“Dan, yang perlu ditekankan agar masyarakat tidak saling menuding, sebaiknya harus juga dilakukan penelusuran, agar aktor intelektual yang menyuruh melakukan penyiraman tersebut dapat terungkap,” himbau advokat jebolan magister hukum bisnis Universitas Gadjah Mada ini.
Untuk itu, katanya, selain bisa dikenakan pasal pidana umum, pelakunya juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Tipikor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Tipikor.
Isi pasal tersebut antara lain: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas). □ Red/Bud