JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Prof Dr H Dailami Firdaus selalu anggota Badan Kerja Sama Parlemen (BKSP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, mengaku miris atas situasi terakhir yang menimpa masyarakat muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Karena itu, saya ingin meyerukan dunia internasional agar melakukan tindakan cepat demi mencegah terjadinya geonisida atau pembersihan etnis terhadap komunitas muslim Rohingya. Sebab, sikap diam justru akan mendorong tragedi kemanusiaan yang lebih besar dan memprihatinkan,” tegasnya.
Senator DKI Jakarta yang akrab dengan panggilan nama Bang Dailami tersebut, khawatir bakal terjadi genosida 8.000 orang masyarakat muslim Bosnia oleh pasukan Serbia pimpinan Radovan Karadzic di Srebrenica pada tahun 1995 bisa terulang kembali.
Sedangkan Radovan Karadzic sendiri telah dihukum 40 tahun oleh Mahkamah Kejahatan Perang PBB di Den Haag, Belanda tahun lalu karena kejahatan genosida. Mengacu pada data the International Organization for Migration (IOM) setidaknya 18.000 orang telah mencoba melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh pada pekan ini.
Diperingatkan Bang Dailami lebih jauh bahwa dalam laporan tanggal 23 Agustus 2017 lalu, Komisi Penasihat tentang Negara Bagian Rakhine (Advisory Commission on Rakhine State) pimpinan mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan menyatakan bahwa komunitas Muslim Rohingya sangat frustrasi.
Pasalnya, lanjut dia, karena konflik yang berlarut-larut dan status kewarganegaraan mereka yang telah dicabut oleh pemerintah Myanmar (stateless) semenjak pemberlakuan UU Warga Negara kontroversial pemerintahan Diktator Jenderal Ne Win tahun 1982.
Padahal komunitas Rohingya telah tinggal dan memiliki sejarah di Negara Bagian Rakhine semenjak berabad yang lalu. “Situasi Rohingya ini akan membahayakan kekuatan pro-demokrasi Myanmar, karena lawan politiknya akan mengeksploitasi isu ini untuk melemahkan partai Aung San Suu Kyii sebagai pemerintahan sipil yang lemah dan tidak tegas,” terang Bang Dailami.
Sementara pemerintahan dan parlemen Myanmar saat ini dikuasai oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), namun walaupun terjadi transisi kekuasaan dari militer kepada sipil pada tahun 2015 yang lalu, militer Myanmar masih mendapat 25 persen kursi parlemen tanpa ikut pemilu serta mengendalikan kementerian dalam negeri, polisi dan aparatur keamanan, dan penyebaran pejabat dan pegawai pemerintah daerah.
“Jadi, atas nama kemanusiaan dan solidaritas ASEAN, saya meminta Pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan kemanusiaan dan keamanan untuk mencegah genosida komunitas Rohingya, karena lemahnya pemerintahan sipil Myanmar pada isyu ini,” pungkas Prof Dr H Dailami Firdaus. □ Red/Goes