JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Akselerasi atau percepatan pembangunan infrastruktur di Papua dilakukan dalam rangka membuka isolasi daerah-daerah pedalaman. Namun begitu, tidak serta merta terbangun kesadaran bagi seluruh masyarakat asli Papua untuk tetap menjaga keutuhan NKRI dari Sabang hingga Merauke.
Simpul-simpul yang dapat menyulut keinginan untuk merdeka, harus dipadamkan lewat pemekaran yang membagi Papua ke dalam sub kultur berdasarkan suku-suku besar yang ada di sana. Selain itu juga perlu penanganan yang komprehensip dalam rangka menjaga keutuhan bangsa.
Wacana tersebut mencuat dan merupakan kesimpulan hasil diskusi politik tentang Papua yang diadakan oleh Wartawan Unit DPR bekerjasama dengan IJCC (Irian Jaya Cricis Center), di Press Room Gedung Nusantara 3 Senayan, Jakarta, Selasa (20/2) kemarin.
Gelaran diskusi yang mengusung tema ‘Pemekaran di Papua, Solusi atau Petaka’, menghadirkan dua pembicara yakni Jimmy Demianus Ijie (anggota DPR dari Komisi I asal Papua Barat) dan Prof Dr Siti Zuhro (peneliti senior dari LIPI).
Latar belakang pembicara pertama yakni Jimmy Demianus Ijie merupakan tokoh pemekaran Papua Barat dan mantan Ketua DPRD Papua Barat. Ia pernah menjadi anggota DPR RI Komisi II dan kini sebagai anggota DPR RI Komisi I yang membidangi Pertahanan, Inteligen, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika.
Dalam pemaparan pada diskusi tersebut, Jimmy mengungkapkan tentang situasi terkini di Papua yang kelihatannya seperti adem-ayem. Namun begitu, kondisi politiknya bagai api dalam sekam.
Dalam telaahnya, Jimmy juga menegaskan bahwa masyarakat Papua terobsesi oleh hasutan dari luar. Bahkan ia berani mencontohkan untuk di sejumlah tempat di Papua sekarang ini, seperti di gereja-gereja dan sebagainya, sebagian masyarakat mulai mengibarkan bendera Israel. Pertanda apa itu? Israel mau memerdekaan Papua, atau sekadar hasutan belaka.
Pada saat ini saja, lanjut Jimmy, sudah ada orang Papua (perempuan) yang direkrut oleh Israel menjadi pilot pesawat canggih. Tentu tidak hanya itu, iming-iming diberikan oleh Israel atau orang luar. Kondisi tersebut merupakan akar permasalahannya ada di Papua, bukan di luar.
Sebagai sarannya, ia mengatakan salahsatu obat untuk meredam sumber ketidakpuasan adalah pembagian wilayah yang bisa menjawab kebutuhan nilai lokal (subkultur), sebagaimana dulu sudah dipetakan oleh Belanda sebanyak 7 bagian.
“Contohnya di Papua Barat, di sana ada dua suku besar. Demikian juga di Provinsi Papua ada beberapa suku besar yang pembagian wilayahnya setidaknya menganut pada nilai lokal di sana,” papar Jimmy lagi.
Jalan keluarnya tentu saja tidak harus dimekarkan hingga tujuh provinsi seperti Belanda. Cukup dimekarkan menjadi tiga provinsi lagi. Papua Selatan (Merauke), Papua Tengah dan Papua Barat Daya (Sorong).
“Dengan pembagian atau pemekaran wilayah sesuai nilai lokal ini, maka setidaknya kita sudah memerdekaan Papua. Merdeka dalam bingkai NKRI. Jadi, bukan di luar NKRI,” saran Jimmy Demianus Ijie.
Pada prinsipnya meminta agar Pemerintah Pusat menambah tiga ‘kamar’ di Papua. Jadi, bukan berharap rumah baru. Begitulah solusi tentang upaya meredam gejolak yang terjadi di Papua belakangan ini.
Sementara itu penelilti dari LIPI, Prof Dr Siti Zuhro, dalam makalahnya berjudul ‘Menyoal Pemekaran Daerah’, menyebutkan hasil pemekaran daerah sejauh ini cenderung menimbulkan masalah. Berdasarkan evaluasi Departemen Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, menunjukkan bahwa 87 persen daerah induk belum menyelesaikann penyerahan pembiayaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D) kepada daerah otonomi baru.
Selain itu penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonomi baru kurang efektif. Padahal, pemekaran daerah dimaksudkan untuk memperpendek rentang kendali. “Karena itu ke depannya, diperlukan komitmen untuk menjalankan grand strategy serta grand design seperti yang tertuang dalam UU 23/2014,” papar peneliti senior di LIPI yang meraih gelar MA dari Flinders University, Adelaide serta bergelar Ph.D Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia. ■ RED/GOES