JAKARTA (POSBERITAKOTA) ■ Beternak ‘Love Bird’ pada umumnya tidak dilakukan hanya untuk sepasang indukan. Pasalnya, burung ini lebih senang hidup berkoloni atau bergerombol. Maka untuk membudidayakan si paruh bengkok ini, para kicau mania yang ingin menambah penghasilan, biasanya memelihara indukan dalam jumlah banyak.
Menernakkan si burung cinta sebenarnya bisa dilakukan di sangkar kecil jeruji besi ukuran 40x40x60 cm yang banyak dijual di kios pakan burung. Ada pula yang beternak secara koloni di dalam satu kandang besar yang diisi puluhan pasang indukan. Dalam budidaya ‘Love Bird’ secara massal harus melakukan berbagai macam cara untuk meningkatkan produksi semaksimal mungkin dan mengefektifkan kinerja burung sebagai mesin produksi piyikan.
Sumarsono, salah satu peternak dari Kemayoran, Jakarta Pusat, mengaku punya beberapa jurus jitu untuk menjalankan briding secara maksimal dan efektif. “Beternak yang paling produktif adalah menggunakan pola asuh yang mana piyik yang masih disuapi induk diambil alih untuk diloloh oleh manusia. Untuk pola ini, produksinya bisa meningkat sampai dua kali lipat dibanding pola alami,” katanya, Minggu (14/10).
Induk yang membesarkan anak secara alami, siklus produksi rata-rata tiap tiga bulan atau sekitar 90 hari. Sedangkan dengan sistem lolohan, siklusnya bisa dipersingkat menjadi sekitar 50 hari.
Untuk siklus 50 hari, kata Sumarsono, rinciannya sebagai berikut 30 hari masa bertelur dan mengeram, 10 hari usia piyik diambil alih dan 10 hari selanjutnya sebagai masa jeda untuk kawin dan persiapan bertelur.
“Tapi pola ini sangat menyita waktu, karena peternak harus meloloh piyik sebanyak empat atau lima kali sehari sehingga jarang dilakukan peternak yang umumnya punya pekerjaan di luar rumah,” kata Sumarsono yang memiliki indukan lebih dari 100 ekor. Ia menerapkan briding dengan dua sistem yakni secara soliter per pasang maupun koloni.
Hal senada disampaikan Robi Panjaitan, salah satu pengurus Komunitas Love Bird Indonesia (KLBI) yang tinggal di kawasan Tanah Abang, Jakpus. “Untuk hasil maksimal dan efektif, beternak dengan pola apapun perlu melakukan cek glodok atau sarang secara rutin,” ujar Robi sambil menambahkan pengecekan tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi telur maupun piyik.
Yang jelas, lanjut dia, jangan percaya omongan orang yang menyebutkan kalau telur dipegang orang, induk tak mau ngerem lagi. “Itu anggapan salah. Jadi, cek glodok sangat perlu,” tambah Robi yang beternak mengunakan dua kandang besar masing-masing seukuran kamar tidur, diisi ratusan ekor ‘Love Bird’ warna-warni.
Baik Robi maupun Sumarsono sama-sama melakukan cek glodok seminggu sekali. “Setiap ngecek sarang, satu per satu telur saya teropong pakai sorot lampu HP, terutama untuk mengetahui telur kosong atau isi. Kalau berisi, sudah berapa hari usia janin bisa diperkirakan dari kerabang telur,” kata Sumarsono sambil menambahkan kalau tiap telur yang berisi ditulis pakai spidol tentang nomor urut telur dan prediksi tanggal menetas. Sedangkan telur kosong atau kopyor langsung dibuang supaya induk tidak mengeram sia-sia.
“Catatan pada kulit telur ini sangat berguna. Sebab kalau ada induk yang masing-masing cuma mengeram dua telur dan usianya hampir sama dengan telur yang dierami induk lain, maka lebih baik telur tadi digabung ke satu sarang. Tujuannya salah satu induk yang diambil telurnya biar cepat kawin dan bertelur lagi. Love Bird rata-rata mengerami empat telur,” kata ayah dua anak.
Begitupun dengan piyiknya, jika dalam beberapa sarang masing-masing cuma ada satu atau dua piyik, lebih baik digabung dengan piyik lain yang seumuran. “Pilihlah induk yang pintar merawat piyik. Itu bisa dilihat dari kondisi piyik yang gemuk dan bersih,” sambungnya.
Menurutnya induk ‘Love Bird’ yang sedang merawat piyik juga mau meloloh piyik dari induk lain yang sudah dipindahkan ke dalam sarangnya. “Sepasang induk bisa membesarkan sampai empat ekor piyik, tapi yang paling ideal adalah tiga piyik,” jelasnya.
Dengan melakukan cek glodok disertai penggabungan telur ataupun piyik, maka usaha peternakan ‘Love Bird’, bisa lebih efektif dan produktif. Induk produktif itu setelah lepas mengeram atau merawat anak, maka sekitar 10 hari berikutnya sudah mulai bertelur lagi. Jarak antara telur pertama dan seterusnya adalah dua hari, sedangkan masa pengeraman antara 21 dan 23 hari. Adapun anakan dari menetas sampai mandiri butuh waktu antara 40 dan 45 hari.
Meski harga ‘Love Bird’ saat ini sedang turun, namun tak menyurutkan niat Sumarsono dan Robi membudidayakan burung yang paling ramai di ajang lomba kicau. “Ternak Love Bird masih cukup menguntungkan. Tiap bulan briding saya bisa memproduksi sekitar 30 ekor dengan harga rata-rata Rp 500 ribu. Adapun biaya operasional per bulan cuma Rp 3 juta. Untungnya, masih belasan juta rupiah,” papar Robi.
Komoditi ‘Love Bird’ saat ini sedang membludak di pasaran karena saking banyaknya import dari Taiwan sehingga harga anjlok 20 persen. “Namun penggemar Love Bird ini banyak sekali. Itu terbukti pada setiap lomba paling banyak kelas serta penjualan kandang jeruji besi paling ramai. Jadi, kami masih semangat beternak burung ini. Kalau import ilegal bisa dibendung Pemerintah, maka harga akan naik lagi,” pungkas Sumarsono. ■ RED/JOKO SUDADI/GOES