JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Beternak burung murai batu tidak semudah yang dilihat karena boleh dibilang gampang-gampang susah. Pasalnya, untuk membudidayakan si ekor panjang ini relatif agak sulit terutama dalam menyamakan puncak birahi antara induk jantan dan betina sehingga dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan hoki alias keberuntungan.
Banyak peternak pemula yang gagal alias buyungnya tak kunjung beranak meski sudah mencobanya sampai beberapa tahun. Kebanyakan yang terjadi adalah si induk betina mau bertelur dan mengerami namun tak bisa menetas karena tidak kawin dengan induk jantan atau mungkin juga kawin tapi tidak terjadi pembuahan sehingga telur zonk. Adapun pemula yang beruntung, baru menernakkan beberapa bulan saja, si murai batu sudah berproduksi secara rutin dan lancar.
Tri Haryono, salah satu pengurus paguyuban Komunitas Murai Batu Indonesia (KMBI) DKI Jakarta menjelaskan bahwa beternak murah itu gampang-gampang susah dan dipengaruhi faktor keberuntungan.
“Membudidayakan murai alias kucica hutan tidak semudah burung love bird. Butuh penanganan khusus karena burung ini bersifat teritorial yang mana pejantan selalu ingin menguasai lingkungannya dan tidak bersahabat dengan murai jantan lainnya. Berbeda dengan love bird yang bersifat koloni yang mana bisa dikembangbiakkan secara massal di satu kandang besar,” ujarnya di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (9/2).
Berhubung murai bersifat teritorial, maka pada umumnya diternakkan secara berpasangan dalam satu kandang. “Dalam proses penjodohan pun harus hati-hati. Sebelumnya harus dikenalkan dengan cara didempetkan sangkar jantan dan betina. Kalau belum cocok, mereka dipaksa masuk dalam satu kandang, maka berisiko salah satu burung terluka parah atau mati,” ujar Haryono yang juga memproduksi murai batu trah Medan di rumahnya.
Menurutnya, setelah melewati proses penjodohan, maka langkah yang sulit adalah mengkondisikan dua burung tersebut sama-sama pada puncak birahi.
Sedangkan untuk tanda birahi murai jantan, sering berkicau dengan suara sedang atau ngriwik berkepanjangan secara terus menerus. Sedangkan betina juga sering bunyi dan mulai menyusun sarang atau disebut ngunjal.
“Umumnya yang sering dikeluhkan peternak pemula adalah, si betina bertelur tapi tidak ada tanda-tanda kawin sebelumnya. Berarti telurnya gak mungkn menetas,” papar Haryono yang memiliki delapan kandang penjodohan.
Namun kusus betina yang terpantau kawin, tapi telur zonk semua, kemungkinan besar sperma pejantan tidak masuk ke indung telur. Hal ini bisa dicoba diatasi dengan memangkas bulu-bulu lembut di sekitar kemaluan betina pakai gunting kecil.
Terkait cara menyamakan puncak birahi kedua indukan, sambung Haryono, antara lain menjaga kandang terbebas dari gangguan binatang seperti tikus dan kucing, serta suara bising atau sesuatu yang bikin kaget.
“Selain itu, burung harus dijor dengan makanan ekstra seperti jangkrik, ulat hongkong, kroto, dan sekali-kali cacing. Makanan ekstra harus selalu ada. Dengan cara begitu, dalam beberapa bulan biasanya keduanya akan sama-sama birahi, kawin, dan beranak,” kata Haryono yang tiap bulan bisa memproduksi belasan ekor murai.
Kalau semua prosedur sudah dilakukan dengan benar, namun murai tak kunjung berproduksi, maka dibutuhkan kesabaran. “Meski sudah lebih dari setahun mengurus dengan baik, namun burung tak kunjung beranak harus sabar.
Banyak peternak pemula yang baru memperoleh keberuntungan setelah dua tahun menjodohkan murai. Intinya tekun dan sabar. Yakinlah murai itu lama-lama akan beranak. Memang kadang butuh waktu lama dan sulit.
“Untuk itulah harga murai bertahan mahal karena tidak semudah love bird yang kini harganya hancur lebur karena hampir setiap penggemar love bird selalu menernakkannya sehingga terjadi over produksi dan harga terjun bebas,” ujar Haryono yang menjual anak murai jantan seharga Rp 2,5 juta dan betina Rp 1,3 juta umur antara satu dan dua bulan.
Kalau murai sudah berhasil bertelur, mengeram hingga menetas dan memelihara anak sampai mandiri, maka untuk berikutnya akan semakin mudah mengurusnya. “Induk yang kondusif, rata-rata berproduksi antara dua dan tiga ekor tiap bulan,” papar Haryono sambil menambahkan tiap tahun burung mengalami mabung atau ganti bulu yang butuh proses sekitar tiga bulan.
Selama mabung, burung istirahat alias tidak produksi. “Jadi, dalam setahun, burung bisa berproduksi sekitar sembilan periode. ■ RED/JOKO SUDADI