JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Tak selalu karya anak bangsa yang dibilang cukup membanggakan, lantas berbuah manis dengan meraih respon positif. Setidaknya begitulah yang dialami Hj Elva Waniza, Dirut PT Elva Primandiri yang sukses mengerjakan proyek pembangunan gedung Mapolda Naggroe Aceh Darussalam (NAD) II di tahun 2007 silam. Namun dibalik itu, ia justru belum menerima proses pembayaran dari proyek yang sudah dikerjakan.
Hal yang mengenaskan hati dan pikirannya, kendati dipercaya menjadi pelaksana proyek tersebut, kenapa harus berlarut-larut proses pembayaran atas terselesaikannya gedung Mapolda NAD II? Bahkan jika bicara angka terbilang cukup besar, karena harus segera dibayar Pemerintah cq Kementerian Keuangan (Menkeu-red), total mencapai Rp 32, 7 miliar.
“Padahal, dulu saat harus mengerjakan proyek pembangunan gedung Mapolda NAD II, tentu dengan sikap serius dan komitmen. Saya awalnya bangga atas kepercayaan yang diberikan. Apalagi itu merupakan proyek besar dari Pemerintah,” ucap Hj Elva Waniza berkeluh-kesah seperti yang dipaparkan kepada POSBERITAKOTA, Senin (4/3).
Jika melihat hasil dari pengerjaan gedung Mapolda NAD II, tambah dia, tentu saja menyiratkan kebangaan tersendiri. Bangunan tersebut sangat terlihat megah dan bahkan bisa dikategorikan gedung Mapolda terbaik se-Indonesia.
“Sedang yang saya rasakan sekarang, justru berbanding terbalik. Seolah-olah apa yang menjadi karya anak bangsa dan bisa serta sudah dirasakan pemanfaatannya, terabaikan begitu saja. Sebagai pelaksana dari PT Elva Primandiri, jujur saya sangat kecewa, karena sampai sekarang belum terbayarkan,” kata Hj Elva Waniza.
Padahal, lanjut dia, dibalik itu pihaknya yang dibuat kelabakan. Kenapa? Akibat belum dibayar Pemerintah, menurut Hj Elva Waniza, para suplier dan pihak perbankan yang ikut membiayai proses pembangunan gedung Mapolda NAD II, justru malah menagih ke kontraktor PT Elva Primandiri miliknya.
MENGHUKUM KEMENKEU
Tak dipungkiri Hj Elva Waniza harus melewati penantian panjang, karena masalahnya sampai ke proses hukum alias meja hijau. Kemudian, sudah ada putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 582/Pdt.G/2011/PN. Jkt.Tim yang menghukum Kementerian Keuangan, dahulu bernama Satuan Kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias (tergugat I) dan Polri (tergugat II) secara tanggung renteng membayar kewajibannya kepada PT Elva Primandiri sebesar Rp 32.768.097.081.
Bahkan turunnya putusan itu, kemudian diperkuat dengan terbitnya putusan Pengadilan Tinggi Jakarta nomor perkara 527/PDT/2013/PT.DKI dan terbitnya putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) nomor 2483 K/PDT/2014.
“Jika sudah ada keputusan yang inkrah dan menjadi kewajiban Pemerintah cq Kemenkeu harus segera membayarnya, kenapa masih saja sulit dilaksanakan? Lantas, saya harus mengadu dan berharap kemana lagi?” Begitu ungkap HJ Elva Waniza yang pernah mengkonsultasikan masalah yang dihadapi kepada salah satu TV nasional.
Karena itu pula, Hj Elva Waniza pun sangat berharap ada political will dari Pemerintah utamanya Presiden RI Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, bisa memberikan solusi. Sebelas tahun, menurutnya, tentu bukan masa penantian yang pendek.
“Beban psikologis dan harus menanggung kerugian yang tidak kecil, selalu muncul dalam alam bawah sadar saya,” pungkas wanita pengusaha yang menuntut concern Pemerintah karena selalu menggaungkan bidang hukum sebagai panglima. ■ RED/AGUS SANTOSA