JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil perolehan suara Pilpres pada Selasa (21 Mei) dinihari, dinilai pengamat sebagai kebijakan di luar kewajaran. Pasalnya, pengumuman hal sepenting itu dilakukan pada pukul 02.00, di mana mayoritas masyarakat Indonesia sedang lelap tidur dan di luar jam kerja.
KPU mengumumkan jumlah perolehan suara Jokowi-Ma’ruf sebanyak 85.607.362 atau 55,50 persen suara, sedangkan perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Selisih suara kedua pasangan 16.957.123 atau 11 persen suara. Namun hingga tanggal 24 Mei 2019, pukul 09.30 Wib dini hari, website situng KPU ternyata baru menyelesaikan rekapitulasi di 770.715 TPS yaitu sekitar 94,75% TPS dari jumlah keseluruhan 813.350 TPS se-Indonesia.
Hal ini menimbulkan kejanggalan dan persepsi berbeda di masyarakat. Di satu sisi KPU telah mengumumkan hasil final pilpres 2019, namun di sisi lain website resmi KPU masih melakukan rekapitulasi dan belum selesai.
Pengamat politik dari Universitas Islam (Unis) Syekh Yusuf Tangerang, Adib Miftahul mengatakan bahwa ketidaksinkronan antara Situng dan Rekap Manual di dalam institusi KPU menyebabkan opini publik menjadi liar. Apalagi diumumkan pada dinihari sehingga memperkeruh situasi politik yang makin memanas ini.
“Hal ini juga dinilai telah memperkeruh suasana, seolah-olah ada sesuatu yang terjadi dalam tubuh KPU. Sehingga membuat ribuan massa berkumpul untuk berunjuk rasa di Bawaslu pada 21 dan 22 Mei kemarin,” kritik Adib di Jakarta, Jumat (24/5).
Menurutnya, pengumuman KPU itu tidak sinkron dengan proses website situng KPU. “Walaupun KPU telah menjelaskan bahwa hasil yang menjadi patokan adalah rekapitulasi manual, namun perbedaan mekanisme yang dibiarkan terus ini, telah membentuk opini publik menjadi liar.” Ujar dosen FISIP ini.
Dengan kondisi opini liar tersebut, masyarakat menduga ada kecurangan yang salah-satunya terjadi pada situng KPU, sehingga membuat sekelompok masyarakat merasa tidak puas. Hal ini menjadi stigma tersendiri di publik, apalagi keputusan Bawaslu telah meminta agar KPU melakukan perbaikan pada sistem situng KPU.
“Ini bagi masyarakat khususnya pendukung paslon 02 menjadi penguat dugaan adanya kecurangan. Saya kira KPU perlu mengambil langkah tepat sebagai penyejuk, ditengah situasi politik yang kian memanas ini,” katanya.
Adib mengatakan bahwa opini liar ini menjadi semakin kuat dengan belum dituntaskannya persoalan DPT yang diduga bermasalah, sementara pemilu sudah selesai. “Saya kira KPU harus koreksi diri, banyak hal yang belum dituntaskan secara final, namun dijalankan terus, salah satunya tentang dugaan adanya DPT bermasalah, penyebab meninggalnya ratusan pengurus KPPS, ditambah lagi dengan pengumuman hasil akhir pada dini hari dikala proses situng belum selesai. Ini yang memperkuat opini liar dimasyarakat.” tutur Adib.
Selanjutnya Adib menyarankan agar KPU dapat mengelar konfrensi pers secara terbuka, untuk menjelaskan poin-poin yang selama ini masih menjadi PR.
“Saya sarankan agar KPU memberikan keterangan publik secara terbuka dan seluas-luasnya tentang poin-poin yang sampai saat ini masih menjadi PR mereka. Keterbukaan informasi publik dari KPU ini perlu untuk meluruskan opini yang terbentuk saat ini,” tutup Adib. ■ RED/JOKO/G