JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Gedung II Mapolda Aceh berdiri megah dan sudah difungsionalkan selama bertahun-tahun. Namun siapa sangka, jika proses pembayaran pembangunannya oleh Pemerintah cq Kemenkeu kepada kontraktor PT Elva Primandiri, justru belum direalisasikannya sampai sekarang.
Padahal, pihak kontraktor PT Elva Primandiri yang dimiliki Hj Elva Waniza, sudah melakukan berbagai upaya. Baik itu proses penagihan melalui jalan prosedural, menempuh dan memenangkan jalur hukum di pengadilan, minta difasilitasi oleh Kemenkopolhukam maupun lewat bantuan Komisioner Ombudsman – namun tetap saja masih harus ‘gigit jari’.
Terakhir, Pemerintah cq Departemen Keuangan oleh pihak Komisioner Ombudsman dinilai tak serius dan bahkan ogah-ogahan untuk melaksanakan kewajiban pembayaran pembangunan Gedung II Mapolda Aceh kepada pihak kontraktor PT Elva Primandirisebesar Rp 32.768.097.081.
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Adrianus Eliasta Meliala, mengungkapkan bahwa : “Kesan saya sih, Menteri Keuangan yang tidak mau. Dia kan sudah bikin tim, ada satu tim percepatan kewajiban keuangan pemerintah begitu. Tapi kemudian nggak ada realisasinya. Jadi, kesannya pemerintah seperti mau ngemplang, ya nggak bisa dong!”
Ditambahkan Adrianus lebih lanjut bahwa pihaknya justru serius, terutama supaya kemudian ada desakan kepada pihak pemerintah melaksanakan kewajibannya. “Yang jelas, jadi kalau misalnya 30 hari tidak ada realisasi, kami melanjut ke rekomendasi sebagai hal yang keras dari Ombudsman,” papar dia.
Perihal sikap ketidakseriusan pihak Pemerintah, dikatakan Adrianus, terlihat saat Ombudsman mengundang Kementerian Keuangan. Pejabat yang dikirim atau yang datang hanya eselon III. Herannya, itupun baru dapat disposisi pada hari yang sama.
“Bahkan, kami menunggu sampai satu setengah jam. Jadi, menurut saya, ini serius apa nggak sih nih! Kayaknya, Pemerintah hanya serius saat narik uang, tapi tidak serius dalam rangka memenuhi kewajiban,” ucap Adrianus.
Padahal, menurut pihak Ombudsman, singkatnya adalah hal itu sudah diputuskan oleh pengadilan. Sudah ada macam-macam langkah. Ada mediasi, mediasi gak selesai naik ke ranah hukum, hukum lalu ada juga banding, tapi kemudian tak disepakati terutama oleh pemerintah. “Jadi apa lagi, hukum sudah selesai. Masak sih, balik lagi ke mediasi,” katanya.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan nomor perkara 582/Pdt.G/2011/PN. Jkt.Tim yang menghukum Kementerian Keuangan, yang dulu bernama Satuan Kerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias (tergugat I) dan Polri (tergugat II) secara tanggung renteng membayar kewajibannya kepada PT Elva Primandiri sebesar Rp 32.768.097.081.
Pada putusan itu juga diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta nomor perkara 527/PDT/2013/PT.DKI. Bahkan, kembali diperkuat dengan terbitnya putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 2483 K/PDT/2014. Selanjutnya, upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh pihak tergugat bernomor perkara 601 PK/PDT/2017 kembali ditolak MA pada 19 Oktober 2017.
Sedangkan juru sita PN Jaktim sudah melakukan teguran (aanmaning) terhadap pihak tergugat untuk melaksanakan isi putusan. Pada saat pertemuan untuk terguran pertama pada 17 Oktober 2018, Ketua PN Jaktim sangat mengapresiasi itikad baik dari Kementerian Keuangan yang diwakili oleh kuasa hukumnya, yang menyatakan akan mematuhi putusan pengadilan, dan akan secara intens berkomunikasi dengan Elva Waniza selaku Direktur PT Elva Primandiri.
Harannya lagi, teguran yang dilaksanakan pada 17 Oktober 2018 dan 13 Desember 2018 tersebut belum juga dilaksanakan. Padahal, Ketua PN Jaktim hanya memberikan batas waktu selama sebulan setelah aamaning pertama tanggal 17 Oktober 2018 agar Kemenkeu membayar sesuai isi putusan pengadilan.
Bahkan sampai 20 Desember 2018 silam, Menteri Keuangan Sri Mulyani diminta datang ke PN Jakarta Timur untuk pertemuan annmaning (teguran). Namun, baik Kemkeu atau perwakilannya tidak datang untuk yang ketiga kalinya. Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut hingga saat ini belum juga dijalankan oleh Kementerian Keuangan. ■ RED/GOES