SUKABUMI (POSBERITAKOTA) – Menghormati leluhur menjadi salah satu cara mengingat sejarah. Dan, hidup berhikmat juga merupakan kunci meraih berkat Tuhan semesta alam.
Inilah salah satu pandangan hidup yang masih dipegang sebagian masyarakat di lereng Gunung Salak, khususnya di Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat.
“Melalui pengintegrasian kultur dan religi tercapailah bentuk dan wujud fantastis tertentu yang mempermudah manusia meneladani kebijaksanaan hidup leluhurnya,” kata seniman dan budayawan, Eddie Karsito, saat Minggu (15/11/2020) kemarin berziarah di makam leluhur Abah Agung Soekarso Panca Komara, di Desa Cisaat, Cicurug, Sukabumi.
Kehadiran Eddie Karsito dan komunitasnya, antara lain: Wiyono Undung Wasito (seniman, budayawan, dan dalang wayang kulit), Ndaru Pratama (sineas), dan lainnya, dalam rangka menghadiri undangan pengurus Yayasan Duta Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia (YDPDKI), Cicurug, Sukabumi.
Pertemuan ini dimaksudkan untuk mendapatkan berbagai masukan, terkait pembangunan kawasan pinggiran. Fokus pada pembangunan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia di desa, pada bidang seni, budaya, dan pariwisata berbasis kearifan lokal.
“Sudah semestinya pembangunan desa tidak melupakan identitas kebangsaannya, yaitu kearifan lokal. Mengembangkan kearifan lokal dan pelestarian, baik secara fisik dan non-fisik yang harus menjadi perhatian bersama,” ujar Ketua Umum Yayasan Duta Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia (YDPDKI), Tiwi Wartawani, dalam sambutannya.
Program merawat dan mengembangkan kearifan lokal, lanjut Tiwi, merupakan upaya menjaga keutuhan bangsa Indonesia. “Identitas anak bangsa akan terus melekat manakala kearifan lokal terus terjaga dan berkembang. Inilah salah satu yang menjadi misi YDPDKI dalam rangka meningkatkan kompetensi generasi muda dan potensi budaya yang ada di sini,” paparnya.
Budaya Dalam Perspektif Teologis
Berdasarkan oral history (sejarah lisan), masyarakat Cicurug sejak zaman megalitik menganggap hikmat adalah kebajikan penting. Mentakrifkan hikmat sebagai pemahaman kausalitas; sebab-akibat, adanya kekuatan semesta (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai Sang Maha Kuat; adil, dan pemurah.
“Hikmat yang mengandung nilai-nilai welas asih; pengasih, dan penyayang ini kemudian dinarasikan dalam bentuk filsafat hidup masyarakat Sunda; Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh,” ujar Tiwi.
Situs Megalit ‘Batu Kujang’ di Kampung Tenjolaya Girang, di lereng gunung Salak, adalah bukti cikal bakal praktik peradaban bersifat spirit masyarakat, di Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, yang sudah cukup tua.
“Warisan budaya Megalitik yang ada di Cicurug, gunung Salak ini, setidaknya dapat menjadi tonggak sejarah. Ekspresi kultural yang dapat menjadi spirit membangun peradaban baru yang produktif,” tutur Eddie Karsito menambahkan.
Selain itu, petilasan Abah Agung Soekarso Panca Komara, kata Ketua Umum Humaniora Foundation ini, dapat menjadi bukti bentuk penghormatan masyarakat Cicurug terhadap leluhur.
Abah Agung Soekarso Panca Komara, merupakan tokoh spiritual Cicurug. Beliau seorang tokoh yang mewarisi ajaran (budi pekerti), dan pandangan hidup. Makam ini dapat menjadi refleksi filosofis tentang fenomena kesadaran manusia.
“Kesadaran’ (eling), yang membuahkan pengenalan terhadap diri; ’sangkan paran’ ; dari mana asal kehidupan, dan ke mana kemudian menuju. Sadar; rukun; selamat; bahagia, dalam naungan Tuhan Yang Maha Esa; adalah nilai-nilai yang diajarkan Abah,” ucap Eddie lagi.
Betapa penting pesan-pesan moral tersebut, menurut Eddie, di tengah kecenderungan masyarakat global yang semakin hedonis. “Aspek-aspek yang membentuk manusia mencapai hidup secara otentik. Oleh sebab itu para pewarisnya merasa perlu menulis filsafat hidup Abah tersebut di batu pusaranya untuk menjadi ingatan; (eling; sadar) bagi kita yang masih hidup,” tutur Pendiri Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) ini.
Warisan budaya masa lalu, kata Eddie, dapat dijadikan modal (cultural capital) dalam pengembangan pariwisata. Oleh karenanya, masyarakat Cicurug, harus menyadari potensi warisan budaya ini.
“YDPDKI dapat mengambil peran penting. Mengelola potensi yang ada, berupa; situs megalit, wisata alam, wisata spiritual, seperti, petilasan, pemakaman, dan pemujaan, industrinya; hotel, restoran, dan kerajinan, menjadi destinasi wisata berdampak ekonomis bagi masyarakat lokal,” pungkasnya memberi saran. ■ RED/AGUS SANTOSA