OLEH : HANNOENG M. NUR
SUATU malam di tanggal 27 Rajab, Rosulullah Muhammad SAW mengunjungi salah seorang sepupunya, yaitu Hindun binti Abu Thalib atau Ummu Hani. Rosulullah tertidur. Ketika terbangun, segera beliau pergi ke arah Ka’bah dan tertidur pula di sana. Saat itulah Malaikat Jibril datang dan membangunkan Rosulullah. Waktu Rosulullah telah terjaga dari tidurnya, Jibril membawa beliau ke arah Buraq, hewan aneh yang tubuhnya lebih tinggi dari keledai, memiliki sayap berwarna putih. Dari situlah berawal peristiwa Isra‘ dan Mi’raj.
Isra‘ dan Mi’raj adalah dua moment yang berbeda, di mana keduanya masing-masing melahirkan makna dan hikmah tersendiri. Isra‘ (bermakna perjalanan malam) adalah perjalanan Rosulullah dari Ka’bah di Makkah ke Baitul Maqdis di Yerusalem, yang berjarak 1.239 km dan hanya ditempuh dalam satu malam saja. Padahal jika menggunakan unta atau kuda akan memakan waktu sekitar 30 hari.
Sementara itu Mi’raj (bermakna kenaikan) adalah peristiwa puncak yang pernah dicapai oleh manusia, yaitu naiknya Rosulullah dari Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha melewati 7 lapis langit. Sebuah kejadian yang diyakini tidak akan pernah bisa dicapai oleh ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi apapun.
Saat menuju ke Sidratul Muntaha itulah Rosulullah mengalami banyak kejadian amat penting dalam konteks keimanan kepada Allah SWT. Rosulullah bertemu pada Rosul sebelum dirinya, dari mulai Nabi Adam hingga Nabi Isa, yang ada di setiap lapis langit. Muhammad Rosulullah juga diajak ke beberapa tempat di mana manusia mempertanggung-jawabkan semua perbuatan salah selama di dunia.
Allah SWT pasti ingin mengajak Muhammad SAW untuk melihat sendiri apa yang dikatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an, untuk kemudian Rosulullah menjadi saksi kepada seluruh umat atas kebenaran itu. Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai “public relations” sejati atas seluruh Kekuasaan-Nya; bahwa segala hal yang dilakukan setiap manusia selama hidup pasti memiliki konsekuensi pembalasan, hal baik maupun hal buruk. Tidak ada perbuatan apapun yang berdiri sendiri, tanpa konteks ke dimensi ruang dan waktu masa depan paling akhir, yaitu hari pembalasan.
Di langit ke-7 itu juga Rosulullah menerima perintah dari Allah SWT untuk melakukan sholat. Ada dialog antara Allah SWT dan Rosulullah untuk mempertimbangkan jumlah rakaat sholat dari 50 menjadi 5 rakaat sehari semalam. Adalah Nabi Musa yang mengingatkan Nabi Muhammad SAW bahwa jumlah 50 rakaat. Berkali-kali diturunkan, hingga akhirnya diyakini bahwa yang paling sempurna adalah 5 rakaat.
Perintah sholat yang langsung datang dari Allah SWT itu merupakan bukti bahwa sholat bukanlah sebuah ritual karangan manusia, yang diilhami oleh budaya dan adat istiadat tertentu. Sholat itu “ciptaan” Allah SWT, hingga menjadi bersifat universal karenanya, tidak terikat oleh sistem budaya tertentu.
Setiap tahun kita merayakan Isra‘ dan Mi’raj itu dengan segala bentuk cara dan kemeriahannya. Namun apapun bentuk dan kemeriahan itu, satu hal yang paling penting justru adalah keheningan di batin setiap manusia. Keheningan untuk membayangkan dan meresapi peristiwa yang dialami oleh Rosulullah SAW ribuan tahun lalu itu, dalam konteks perbaikan dan penebalan keimanan kepada nilai-nilai ke-Tuhan-an. Allah SWT dan Rosulullah tidak membutuhkan perayaan yang tampak di mata, yang dibutuhkan oleh Allah SWT dan Rosulullah SAW adalah perayaan keimanan di jiwa setiap muslim.
Allah SWT dan Rosulullah Muhammad SAW ingin selalu ada pesta keimanan di jiwa setiap muslim. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior POSBERITAKOTA)