PUTUSAN 193 PN CIKARANG, INI PENJELASAN TENTANG STATUS KEPEMILIKAN TANAH & BANGUNAN SMK KESEHATAN ISLAMIC SCHOOL

BEKASI (POSBERITAKOTA) – Tanah yang di atasnya berdiri Gedung 1 Sekolah, berdasarkan SHM Nomor : 02914 An. Hj. Lailatussuroyyah yang telah dibeli dari penjual (Rofiun) berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) Nomor : 1370/2014 adalah mutlak milik ahli waris Hj. Lailatussuroyyah, bukan milik Rofiun.

Oleh karenanya, pendudukan yang dilakukan Dzulfikri cs sejak 2018 sampai sekarang (selama 3 tahun), jelas merupakan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 Pasal 31 ayat (10 dan ayat (2), karena kenyataannya SHM tersebut atas nama Hj. Lailatussuroyyah yang tidak terbantahkan.

Adapun gugatan Rofiun terhadap almarhumah Hj. Lailatussuroyyah dengan gugatan AJB pura-pura merupakan gugatan yang janggal dan aneh. Para ahli dan pakar hukum menilai bahwa gugatan yang seakan-akan telah membuat AJB pura-pura merupakan gugatan bunuh diri, karena dengan secara tegas mengakui telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memberikan keterangan palsu dihadapan pejabat negara (camat) dan lurah serta Kepala BPN, dimana Perkara 193/Pdt.G/2019/PN. Ckr.

Dengan objek sengketa AJB nomor : 1370/2014 tanggal 7 Oktober 2014 PN Cikarang merupakan gugatan yang menyatakan bahwa dirinya pura-pura membuat AJB disebabkan tidak adanya pembayaran. Rofiun lupa, kalau ada pasal huruf (b). yang berbunyi Pihak Pertama mengaku telah menerima pembayaran secara lunas.

Tigor Simanjuntak SH berpendapat bahwa adanya itikad tidak baik dari penjual yang melakukan gugatan pembatalan AJB pada saat pembeli telah meninggal dunia. Gugatan terhadap suami pada saat istrinya meninggal merupakan gugatan yang mengada-ada dan salah alamat. “Karena bagaimana mungkin yang tanda-tangan istrinya, tetapi yang harus membuktikan suaminya. Bahwa bukti kepemilikan tanah yang sah adalah SHM, jika tidak dibatalkan, maka tetap berlaku dan mengikat,” kata Tigor Simanjuntak SH dengan mengutip pasal 33 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2014.

Ahli Hukum Tata Negara Prof. Dr. Sugiono, SH. MH menjelaskan bahwa Akta Jual Beli merupakan akta autentik. Bahkan akta autentik ini sudah disahkan Pemerintah melalui penerbitan sertifikat hak milik (SHM). Dengan demikian, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Perdata tidak dapat membatalkan SHM. Karena, SHM ini adalah produk dari Tata Usaha Negara.

Maka, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku untuk membatalkan SHM, harus diputuskan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (lihat PERMA No. PERMA No. 2 Tahun 2019 Pasal Pasal 1 ayat 4).Gugatan PTUN mempersyaratkan 90 hari sejak diterbitkannya SHM tersebut boleh digugat, jika SHM Nomor : 02914 An. Hj. Lailatussuroyyah ini terbit tahun 2014, maka sudah tertutup pintu gugatan di PTUN, karena sudah melewati masa 7 (tujuh) tahun.

Ditambah lagi ada aturan pasal 32 Ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang berbunyi : Pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu, tidak dapat lagi menuntut pelaksaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Bisa saja menggugat di Pengadilan Negeri, akan tetapi putusannya tidak dapat dieksekusi, tentu saja rugi dan tidak perlu, karena tujuan dari gugatan adalah dapat mengeksekusi isi putusan tersebut.

Sophian Martabaya, SH. MH (Mantan Hakim Agung) melakukan analisa hukum tentang Putusan 193/Pdt.G/2019/PN. Ckr. Bahwa isi putusan tersebut menyatakan bahwa telah terjadi AJB pura-pura dimana sebagai AJB tidak sah dan batal demi hukum. Tetapi di sisi lain, tidak ada putusan yang menyatakan bahwa SHM ini batal. Ini berarti bahwa SHM ini tetap ada. Oleh karenanya tetap berlaku dan sah sebagaimana tertuang dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan pasal 33 ayat (1) dan ayat (2).

Ditambahkan Sophian Martabaya bahwa AJB yang dibatalkan tidak serta merta membatalkan SHM, karena AJB digunakan sebagai syarat administratif untuk melakukan Balik Nama di Sertifikat. Jika SHM tidak dibatalkan, maka Putusan yang menyatakan AJB Pura-Pura dan AJB dibatalkan tetap saja tidak dapat dieksekusi, karena Hak Kepemilikan Tanah melekat pada SHM, bukan pada AJB. Jika AJB tersebut sudah balik nama menjadi SHM maka posisi AJB menjadi bagian dari warkah di BPN.

Mengapa demikian? Diterangkan Sophian bahwa adanya kekeliruan dalam mengajukan gugatan, seharusnya langkah pembatalan yang dapat dieksekusi adalah dengan cara melakukan pembatalan SHM di PTUN terlebih dahulu. Setelah SHM dibatalkan di PTUN maka dengan sendirinya semua turunannya termasuk AJB-nya tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian, setelah di putuskan dengan dibatalkan SHM oleh PTUN baru kemudian mengajukan Gugatan Perdata dalam rangka eksekusi di PN. Setelah itu, putusan Pengadilan Negeri (PN) memutuskan perkara kepemilikan karena sudah diputus secara administratif di PTUN.

Selanjutnya, Sophian menjelaskan bahwa jika sampai incrach putusan 193/Pdt.G/2019/PN. Ckr. Maka tetap saja tidak akan dapat dieksekusi dan BPN akan menolak mengeksekusi putusan tersebut. Mengapa? Putusan ini salah kamar karena menyalahi kompetensi Absolut Pengadilan dan merupakan putusan yang banci karena tidak tegas membatalkan SHM.

Pada sisi lain, Tigor Simanjuntak SH memberikan pandangan bahwa jika penggugat (Rofiun) mengajukan gugatan sedangkan sertifikat dari 2014 sampai saat ini masih atas nama Hj. Lailatussuroyah, maka gugatan itu aneh dan tidak memiliki dasar hukum. Lantas, dapat kita pertanyakan: Mengapa gugatan dilakukan pada saat pembeli meninggal dunia? Ini menyalahi KUH Perdata. Jika ini dapat dilakukan, maka akan banyak orang yang melakukan gugatan dan mengambil kembali apa yang sudah dijualnya beberapa tahun silam dengan alasan AJB pura-pura, ini sangat rancu dan kacau.

Kalau AJB pura-pura, maka konsekuensi hukumnya adalah Rofiun dan Rosmala tandatangan di AJB, tanda tangannya pura-pura.
Pajak Pembeli dan Rofiun sebagai penjual membayar Pajak Penjual, apakah pajaknya di bayarkan secara pura-pura? Adanya Pembayaran BPHTB apakah itu dibayarkan secara pura-pura? Jika alasannya untuk akreditasi, mengapa tidak atas nama sekolah/Yayasan? Lalu apakah lurah tanda tangan pura-pura? Apakah camat tanda tangan pura-pura?

Gugatan 193/Pdt.G/2019/PN. Ckr merupakan gugatan yang sesat, karena gugatan itu dilakukan pada saat meninggalnya pihak (pembeli). Silahkan baca (Pasal 1320 KUH Perdata). Menggugat suami tidak bisa, karena bukan pihak. Kalau yang digugat suami, maka gugatannya adalah gugatan waris. Inilah gugatan yang sangat sesat dan menyesatkan. Gugatan ini membuka pintu ancaman pidana bagi yang tanda tangan di AJB tersebut, karena secara bersama-sama bermufakat melakukan kejahatan yang terencana.

Keterangan hukum akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat. Apa sih sanksi pidana yang didapatkan bagi pihak yang menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam Akta Otentik? Berikut aturan hukumnya : Pada pasal 266 ayat 1 UU KHUP yang terdapat di buku tentang kejahatan mengenai pemalsuan bahwa : Barangsiapa menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran, dipidana, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Jenis Tabung Portable, POLRES PELABUHAN TANJUNG PRIOK Bongkar Pengoplosan Gas 3 Kg Subsidi

Aneh Pelapor Tak di ‘BAP’, KUASA HUKUM AKHMAD TAUFIK SH : “Perkaranya Ini Jelas Menabrak KUHP”

Di PN Jaksel, KUASA HUKUM ‘INET’ DIRJA Ajukan Gugatan ke Bank Victoria Atas Dugaan Lelang Ilegal Aset Strategis