JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Gegara (gara-gara/red) beredarnya surat Dispora ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait kewajiban Pemprov DKI Jakarta untuk membayar commitment fee selama 5 tahun Formula E, dinilai pengamat kebijakan publik Sugiyanto bakal bikin polemik semakin runyam.
Tak heran jika pria berkaca mata tersebut, kemudian juga menilai bahwa Pemprov DKI Jakarta terlalu berani mengambil resiko, karena membuat MoU selama 5 tahun melebih masa jabatan Gubernur. Karena itu, konsukuensinya, Anies pun harus membayar sekitar sebesar Rp 2,3 triliun dari total keseluruhan sebelum masa jabatannya habis pada tahun 2022 mendatang.
Ditambahkan Sugiyanto bahwa mustahil DPRD Jakarta berani menganggarkan Rp 2,3 triliun pada APBD karena kondisi Jakarta sekarang sedang terdampak COVID-19, dan anggaran pengeluaran yang ada saat ini untuk pemulihan ekonomi.
“Jelas tidak mungkin DPRD DKI Jakarta berani menyetujui pembayaran seluruh total comitmen fee sekitar Rp 2,3 triliun itu pada APBD. Karena Formula E yang tahap satu saja belum berjalan. Padahal, telah mengunakam dana APBD sebesar Rp 983,31 milyar. Lagian kan APBD DKI akan difokuskan untuk kepentingan publik, karena masyarakat sedang dan masih terdampak COVID-19,” paparnya.
Menurut pria berkaca mata yang akrab disapa SGY, kalaupun harus dipaksakan maka akan masuk dalam anggaran perubahan APBD 2021 dan atau pada APBD murni 2022. Namun, Dewan sepertinya tak akan mau ambil resiko lantaran polemik Formula E saat ini tengah menjadi sorotan luas di masyakat.
“Hal itupun kalau Dewan nekad menganggarakan dan dananya ada. Pastinya, dengan kondisi saat ini, DPRD bakal menolak menganggarkan Formula E pada APBD DKI,” tukas SGY, lagi.
Dengan demikian, diprediksikan SGY, maka akan muncul polemik baru tentang kepastian Pemprov DKI bisa membayar total comiment fee Rp 2,3 triliun, sebelum masa jabatan Anies habis Oktober 2022 atau menjadi masalah gugatan di artbitrase.
“Formula E bukan program prioritas nasional atau strategis nasional. Jadi, tak bisa dianggarkan dengan APBD DKI sebagai kegiatan tahun jamak melewati masa tugas Gubernur Anies. Saya sudah baca aturannya yang merujuk pada Pasal 92 Ayat (6) PP No.12 Tahun 2019 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, SGY mengatakan apabila Pemprov DKI gagal membayar Rp 2,3 triliun kepada pihak penyelenggara Formula E, maka akan dianggap wanprestasi dan dapat berujung gugatan di artbitrase internasional di Singapura.
“Itulah mengapa polemik Formula E menjadi semakin gawat atau bakal runyam. Boleh jadi pula akan berujung menjadi kasus hukum. Memang ada solusi lain, yakni melibatkan pihak swasta. Tetapi dana sekitar Rp 2,3 triliun sangatlah besar. Pihak swasta pun akan menghitung, bagaimana untung ruginya. Dan, bila pun ada pihak swasta yang masuk, maka dapat menimbulkan kecurigaan publik dan hal ini patut dipertanyakan,” tegas SGY.
Sebagaimana diketahui dalam surat Disorda/Dispora, Pemprov DKI memiliki kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun berturut-turut. Rinciannya sebagai berikut:
Sesi 2019/2020: 20 juta poundsterling atau setara Rp 393 miliar
Sesi 2020/2021: 22 juta poundsterling atau setara Rp 432 miliar
Sesi 2021/2022: 24,2 juta poundsterling atau setara Rp 476 miliar
Sesi 2022/2023: 26,620 juta poundsterling atau setara Rp 515 miliar
Sesi 2023/2024: 29,282 juta poundsterling atau setara Rp 574 miliar
Jika ditotal, rincian awal itu senilai 121 juta pounsterling atau sekitar Rp 2,3 triliun dengan kurs saat ini Rp 19.680.
Masih dalam surat Dispora tersebut, Anies diingatkan terkait kewajiban membayar commitment fee selama lima tahun itu. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah, pada Pasal 92 ayat (6) disebutkan, jangka waktu penganggaran pelaksanaan kegiatan tahun jamak tidak melampaui akhir tahun masa jabatan daerah berakhir.
“Kecuali kegiatan tahun jamak dimaksud merupakan prioritas nasional dan atau kepentingan strategis nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian isi surat Dispora tersebut.
Dan, jika kewajiban bayar lima tahun berturut itu tidak dijalankan, bisa dianggap sebagai perbuatan wanprestasi dan bisa digugat.
“Jadi enggan ditandatanganinya perikatan MoU, maka Pemprov DKI Jakarta harus bisa mengalokasikan anggaran dengan besaran sesuai yang diperjanjikan. Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dilaksanakan, maka akan dianggap sebagai perbuatan wanprestasi yang dapat digugat di arbitrase internasional di Singapura,” tulis surat tersebut. ■ RED/GOES
- –