JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Islam menghadirkan bentuk keshalehan sempurna serta paripurna bagi manusia beragama. Baik itu berupa keshalehan vertikal dengan menjalankan ibadah atau ritual kepada Allah SWT maupun keshalehan horizontal dengan membangun hubungan sosial yang solid dengan sesama manusia – sesama makhluk hidup dan dengan alam semesta.
“Keshalehan sosial ini tidak hanya tersimpulkan dari logika ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi juga ditegaskan secara eksplisit dalam banyak riwayat dan konsepsi ke-Islam-an lainnya,” kata KH. M. Faried F. Saenong MA. Ph.D membuka khutbah Jum’at-nya dihadapan ribuah jamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jum’at 26 Syawwal 1443 H/27 Mei 2022 M.
Dengan mengambil tema yang berjudul ‘Suluk Sosial dan Fikih Anti Korupsi’, KH. M. Faried F. Saenong MA. Ph.D jelas-jelas ingin menegaskan bahwa keshalehan sosial misalnya disebut-sebut sebagai salah satu bagian atau rukun terpenting dalam beragama. Khususnya ketika dihubungkan dengan konsep trilogi Islam berupa Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
Sedangkan ‘suluk‘ berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal dan menjernihkan pengetahuan. Suluk juga merupakan aktivitas rutin yang kita lakukan dalam memakmurkan lahir dan bahtin. “Dibagian Akhlak inilah, keshalehan sosial direproduksi sebagai produk keberagaman. Produk yang baik pasti berasal dari proses yang baik pula,” ucapnya, menambahkan.
Dibanyak kesempatan lain, menurut KH M Faried, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassalam menyatakan bahwa beberapa model keshalehan dan suluk sosial merupakan konsekuensi dari keimanan atas Allah SWT dan Hari Akhirat. Rasulullah sering menyebutkan beberapa dimensi keshalehan setelah menyebutkan : ‘Man kana yu’minu bi Allah wa al-yaum al-akhir’. Bahwa memuliakan tetangga dan tamu merupakan konsekuensi keimanan.
Dalam konteks yang berbeda, dipaparkannya lagi, Nabi Muhammad SAW seringkali menghubungkan orang terbaik dengan praktek keshalehan dan suluk sosial dengan menyebut khairukum atau khiyarukum yang berarti orang terbaik di antara kalian. Nabi Muhamad SAW juga menyebutkan bahwa membayar utang secepatnya merupakan representasi orang terbaik.
“Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa orang terbaik di antara kami adalah mereka yang selalu memberi makan pada orang lain. Termasuk yang paling baik akhlaknya adalah mereka bagi keluarga, sahabat dan tetangganya. Lalu mereka yang diharapkan kebaikannya, mereka panjang umur lagi penuh kebaikan, mereka memiliki hati mulia dan lisan jujur serta puncaknya adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi manusia,” urai KH M Faried, panjang lebar.
Ditambahkan bahwa kesemua suluk dan keshalehan sosial juga merupakan bukti kuat bahwa Islam tidak hanya menekankan keshalehan vertikal dan individual. Namun disaat yang sama juga mementingkan berbagai bentuk keshalehan sosial. Dari sini, kita dapat memahami dengan mudah konsepsi Maqashid al-Syariah yang disusun para ulama. Semua ini berhilir pada misalnya Maqashid al-Syariah model al-Syahibi berupa penjagaan total atas agama, jiwa, keturunan atau martabat, harta dan akal.
“Ini juga sesuai dengan konsep Maqashid al-Syariah ala berupa keadilan dan kebebasan. Bahkan, dari sini sejatinya keshalehan sosial serta Maqashid al-Syariah membuat Islam sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa segala perbuatan yang merugikan orang lain merupakan perbuatan dosa yang dikecam keras oleh agama.
Sementara itu seperti dijelaskan KH. M. Faried, secara sederhana tindak korupsi dipahami sebagai tindakan yang tidak hanya merugikan keuangan negara. Tetapi juga melanggar dan merampas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat umumnya (UU No.20/2001). Dan, jauh sebelum hadirnya undang-undang di atas dan United Nation Convention Against Corruption yang diproklamirkan di Meksiko (2005), Islam telah menghadirkan prinsip-prinsip kunci yang sejatinya dapat menghindarkan manusia dari tindak dan perilaku korupsi.
“Kita dapat saja berkata bahwa Islam memiliki model-model Fikih Anti Korupsi yang nilai-nilai luhurnya dapat diaplikasikan di berbagai dimensi kehidupan umat manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga seringkali memperingatkan manusia tentang laku ghulul dalam sejarah umat Islam. Istilah ghulul ini awalnya mengacu pada kecurangan dan penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagi berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW,” ulasnya, lagi.
Sedangkan istilah lain yang juga sering dihubungkan dengan praktek korupsi adalah risywah atau suap. Bahkan dalam sebuah Hadist Riwayat Ahmad menegaskan yang artinya : “Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara, yaitu orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad).
Pada akhir khutbahnya, KH. M. Faried mengungkapkan selain larangan atas segala tindakan yang gharar (penipuan), ghulul (penggelapan) dan risywah (suap), Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam juga sering mengingatkan kita tentang larangan mendekati, mengambil atau mengkonsumsi segala hal yang syubhat, yakni rancu atau samar antara halal dan haram. □ RED/AGUS SANTOSA