JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Kalau akidah merupakan pondasi penting Islam, maka menjaga pondasi ini amatlah krusial. Bahkan, bertahannya akidah itu bisa sebagai pertanda kokohnya Islam. Begitu pula sebaliknya. Pertanyaannya kemudian, apa peran Ulama di dalam menjaga akidah umat ini?
Demikian intisari dari khutbah Jum’at dari Ulama muda asal Pidie, Aceh, Dr. Tgk. KH. Amri Fatmi Anziz Lc MA, di Masjid Istiqlal, Jum’at 10 Dzulqaidah 1443 H/10 Juni 2022 M yang dihadiri puluhan ribu jamaah dari warga Jakarta dan sekitarnya.
Menurutnya bahwa pengertian makna Ulama yang kita maksudkan merujuk pada firman Allah SWT:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Artinya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para Ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Fatir/35: 28)
Sedangkan maksud Ulama sesuai dengan ayat ini adalah: Ulama yang mengenal Allah SWT dan ilmunya berhubungan dengan syariah. Ulama seperti ini yang ilmunya menjadikan ia takut akan Allah SWT. Adapun ulama yang tidak berhubungan ilmunya dengan ma’rifatullah maka ilmunya tidak langsung akan menjadikan ia takut akan Allah SWT. Kami paparkan beberapa peran yang dijalankan Ulama demi menjaga agama dan akidah umat:
- Ulama Melanjutkan Peran dan Tugas Para Anbiya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan peran ulama bagi umat dalam hadistnya:
Artinya: “Dan, Ulama adalah pewaris para anbiya, dan sesunguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu…” ( HR. Abu Dawud).
Namun keistimewaan Ulama sepanjang zaman adalah keilmuan mereka yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW bukan kekayaan harta mereka. Dengan demikian mereka pembawa risalah para Nabi kepada seluruh manusia terutama di daerah yang mereka diami. Mereka teladan bagi masyarakat. Diantara tugas Nabi dan Rasul, Allah SWT sebutkan dalam Al-Quran:
۞ يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah/5: 67).
…اِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ…
Artinya : “…aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan…” (QS. Hud/11: 88).
“Ini adalah sejumlah tugas Nabi yang harus dilanjutkan para Ulama ; pelopor dakwah, memberi kabar gembira, memberi peringatan, menyampaikan hujjah, menyampaikan dan menjelaskan risalah, mendidik dan memperbaiki masyarakat. Semua ini adalah tugas ke-Nabian yang diwarisi Ulama,” tuturnya.
- Menjaga Keteladanan Secara Akhlak
Dipaparkannya lebih lanjut bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sukses mengemban misi dakwah dan berhasil menanamkan akidah pada diri para sahabat dengan pengaruh keteladanan akhlak Beliau. Para Ulama kita meneruskan keteladanan itu akan sangat mempengaruhi terhadap ajakan keimanan pada Allah SWT dan segala amal kebaikan. Akhlak seorang Ulama akan mempengaruhi ajakan iman yang ia seru.
Ibnu Jauzi pun menyebutkan bahwa sifat merasa takabbur dengan ilmunya, dengki dengan alim lain yang semisal dengannya, riya untuk mendapatkan jabatan, seakan itu adalah hak yang pantas untuknya, termasuk bagian dari tipu daya iblis pada diri seseorang Ulama (Talbisu Iblis, 125). Apalagi saat ini dengan kesukaan terhadap popularitas tanpa diimbangi dengan akhlak yang mulia akan mencemarkan Islam dan akan mengganggu akidah orang awam terhadap Islam.
- Ulama Sebagai Sandaran Hidup di Masyarakat
Peran ini kita dapatkan dalam perintah Allah SWT untuk menjadi “Ulama Rabbaniyin” dalam firman-Nya:
وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ
Artinya : “… Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya…” (QS. Ali Imran/3: 79).
Syeikh Mufassirin, Imam At-Thabari menjelaskan bahwa kata “Rabbani” dalam ayat tersebut punya tiga makna: orang bijak yang berilmu, orang bijak dan bertakwa serta bermakna pemimpin. Imam At-Thabari berpendapat bahwa kata “rabbani” dinisbatkan pada “rabban” artinya mengurusi orang lain. Jadi “rabbani” maknanya adalah orang yang dijadikan sandaran bagi yang lain baik dalam fikih, ilmu, urusan agama maupun urusan dunia. Mujahid mengatakan Rabbani adalah Ulama yang menggabungkan antara ilmu fikih dan kemampuan dalam mengatur serta mengurus rakyat demi kemaslahatan dunia dan akhirat mereka (Tafsir AthThabari, 5/525).
Bahkan, para Ulama dalam Islam termasuk sebagai ulil amri yang mesti ditaati setelah Allah SWT dan RasulNya. Firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa : 59).
Pada makna kata “Al-Amr” seperti menurut Ibnu Athiyah adalah Al-Quran dan Syariah. Dari Mujahid dan mayoritas Ulama tafsir, “ulil amri” dimaknakan sebagai ahlul Qur’an dan ahlul ilmi. Mereka Ulama seperti yang kita maksudkan (Al-Muharrar al-Wajiz, 2/70).
“Dan, ini menunjukkan pada peran penting Ulama syari’ah dalam masyarakat mukmin dan legalitas kepatuhan dari umat terhadap mereka. Oleh sebab itu, harus diwaspadai segala upaya pencemaran nama baik ulama oleh berbagai pihak dari masa ke masa agar supaya ulama terus menjadi rujukan di masyarakat dan menjaga agama,” katanya.
- Membersamai Masyarakat Bawah
Dimana Ulama yang mewarisi para Anbiya mewarisi pula tugas dan sifat Anbiya. Di antaranya adalah makan makanan dan berjalan di pasar.
وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّآ اِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَيَمْشُوْنَ فِى الْاَسْوَاقِۗ
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar…” (QS. Al-Furqan/25 : 20).
Pasar merupakan tempat yang dihadiri dan bertemu semua individu dari berbagai lapisan di masyarakat setiap hari. Parameter sikap dan perilaku serta karakter suatu masyarakat bisa di nilai dari pasar. Apa makna Nabi berjalan di pasar? Para Nabi berjalan di pasar, berbaur dengan orang bawah, terhubung dengan masyarakat biasa menyaksikan aktivitas rutin mereka mendengarkan kejadian di sekeliling. Menilai kebiasan dan perilaku pribadi masyarakat lalu memberi nasehat dan memperbaiki kondisi yang terjadi. Para Nabi di pasar untuk menjalankan tugas mereka bukan sekedar mencari hajat hidup atau menampakkan kesederhanaan. Nabi pernah menegur langsung penjual makan di pasar dengan cara mengelabui pembeli. Seraya mengingatkan : ” Siapa yang menipu kami, ia bukan dari kami” (H.R. Muslim).
“Kalaulah para Nabi demikian adanya, maka tidak ada alasan bagi pewaris Nabi untuk mengasingkan diri, jauh dari orang miskin dan jauh dari aktivitas penting dan rutin masyarakat,” ucap KH Amri Fatmi Anziz.
Lantas, dijabarkannya panjang lebar, bila Ulama menjauh dari masyarakat bawah dan problem mereka, maka menjauh pula sebagian besar masyarakat dari tuntunan agama, akan menjauh pula kehidupan masyarakat bawah dari Islam. Akan termarginalkan pula Islam dari sebagian besar masyarakat. Ini petaka besar. Sabda Nabi SAW:
Artinya : “Sehingga saat tidak ada lagi orang alim, mereka akan mengangkat para pemimpin/pemuka yang jahil…”
- Merawat Akidah Islam yang Simple dan Mudah
Dalam pandangan bahwa menjaga akidah Islam yang mudah dan jelas bagi seluruh masyarakat yang awam. Karena akidah adalah awal kewajiban Islam, fundamen Islam, akidah sulit dan berbelit-belit akan menyusahkan orang masuk Islam dan menyulitkan mereka mengamalkan Islam. Iman Akidah mesti simple dan mudah. Imam Al-Ghazali menjelaskan : Yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf minimal adalah apa yang bisa diterjemahkan dari makna kalimah “La illaha ilallaah Muhamadar Rasulullah“. Apabila seseorang sudah membenarkan Rasul, maka mesti ia membenarkan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala yang sempurna, Maha hidup, Mengetahui, Maha melihat Maha mendengar dan tidak ada yang menyerupai-Nya sesuatu apapun.
“Jelas, kita sangat menyayangkan saat narasi keilmuan akidah yang sampai ke telinga orang awam hari ini adalah narasi perdebatan, perselisihan dengan tema-tema rumit. karena terdapat tema ilmu akidah dan ilmu kalam yang hanya cocok dibahas dikalangan para ulama dan pakar, namun sudah terbuka diakses oleh orang awam. Mulai dari perdebatan tentang sifat Allah SWT, sampai perdebatan takdir dan takfir,” urainya, panjang lebar.
Bagi para Ulama akidah berkewajiban menjelaskan syubhat akidah yang dihadapi oleh masyarakat dengan berbagai tingkatan mereka. Para ulama memakai metoda yang tepat dan sesuai dalam meluruskan syubhat akidah. Bagi kaum terpelajar menjaga metoda dialog dengan cara yang bijak dan argument yang bijak dan jelas.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (QS. An-Nahl : 125).
- Merawat Pemahaman Akidah Islam yang Wasathiyah
KH Amri Fatmi Anziz menyebutkan tentang pemahaman akidah ahlusunnah waljamaah yang wasathiyah terbukti mampu menjawab banyak problem yang muncul di masyarkat sepanjang sejarah. Menjawab syubhat Khawarij, Syi’ah sampai tenggelamnya ajaran sekte Muktazilah adalah bukti konkrit kehandalan akidah wasathiyah Ahlusunnah. Wasthiyah antara pemahaman tekstual dan logika, pertengahan antara kaum tanzih dan kaum tasybih, pertengahan dalam pemahaman hubungan tanggung jawab hamba atas perbuatannya dan prinsip takdir Allah SWT atas segala sesuatu. Pertengahan antara nasib pelaku dosa besar dengan luasnya pengampunan Allah SWT.
Maka dari itu, menurutnya, manhaj akidah Ahlusunnah yang wasathiyah ini telah menjawab banyak problem pemikiran bersejarah seperti tema keadilan dan kezaliman, kebaikan – keburukan, qadha-qadar, serta lainnya (Nasy’at Asy’ariyah, h.461).
Oleh karenanya, tantangan pemikiran modern dari kaum liberal, sekular, materialis sampai atheis bahkan kaum takfiri akan bisa terjawab. Pemahaman wasathiyah memperhatikan keseimbangan. Dengan manhaj wasathi eksistensi akidah Islam akan terawat dan terjaga serta mampu menghadapi segala tantangan pemikiran global.
Kemudian, sebaliknya bila tersebarnya pemikiran Islam yang jauh dari wasathiyah bahkan memicu munculnya gelombang atheism dikalangan anak muda milenial sebagaimana hasil studi yang dilakukan di Timur Tengah (Al-Ilhad wal Wathan Al-‘Arabi: Islamonline.net).
- Ulama Sebagai Pembimbing Para Umara
Dirisalahkan bahwa setelah revolusi Arab Spring, gelombang arus atheis di kalangan pemuda Milenial Arab memuncak. Apa sebabnya? Adakah hubungan antara kestabilan kondisi politik negara dengan akidah anak muda?
Termasuk para pakar ilmu sosial dan ilmu jiwa menyebutkan bahwa faktor politik suatu Negara ikut berperan langsung bagi memuncaknya fenomena atheisme di kalangan anak muda di beberapa Negara Arab. Oleh sebab itu para ulama sangat dituntut untuk menyuarakan masalah anak muda dan remaja serta memikirkan solusi bagi masalah yang dihadapi.
Studi telah membuktikan bahwa remaja masa puber masa meletupnya kepribadian kritis yang cenderung melawan segala bentuk kekuasaan dan segala bentuk adat sosial termasuk pemahaman agama (Al-Ilhad Musykilah Nafsiah, 299.) Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah SAW kalau dituntut sesuatu demi Islam, pasti beliau berikan. Bahkan beliau pernah memberi kambing antara dua bukit jumlahnya karena diminta, untuk seorang laki-laki. Laki-laki tersebut padahal masuk Islam untuk mendapatkan kehidupan dunia, tapi tak lama kemudian, Islam lebih dia cintai dari dunia seisinya (HR. Muslim), lihat bagaimana kekuatan iman yang muncul dari pemenuhan hajat penting seorang manusia.
- Ulama Kunci Perbaikan Kehidupan Bernegara
Di sisi lain lagi, ulas KH Amri Fatmi Anziz, dipastikan peran Ulama dengan keilmuan dan kebijaksanaan yang dimiliki, akan banyak menjaga hubungan harmonis atara penguasa dan rakyat jelata. “Mereka sebagai penghubung, penyambung lisan dan tumpuan harapan hati. Kepercayaan yang baik dari rakyat kepada ulama akan menjaga kuat keyakinan iman dalam dada mereka,” ungkapnya.
Namun begitu, maka akan besar sekali kemaslahatan baik bagi Negara, dengan menjaga netralitas para Ulama dan kebebasan mereka menyuarakan kebenaran. “Ini akan sangat menjaga dan merawat ketahanan nasional dan menjaga kesatuan seluruh elemen bangsa. ■ RED/AGUS SANTOSA