JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ “Setiap Nabi yang Allah SWT utus dibekali dengan mukjizat sebagai bukti kebenaran ajaran yang dibawanya. Bahkan, secara garis besar ada dua jenis mukjizat. Pertama, bersifat indrawi material seperti Nabi Nuh alaihis salam membuat kapal, Nabi Ibrahim alaihis salam yang tidak hangus ketika dibakar, tongkat Nabi Musa alaihis salam dan lain-lain,” ucap DR. KH. Ali Nurdin, MA saat membuka khutbah Jum’at-nya di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat 2 Dzulhijah 1443 H/1 Juli 2022 M yang membahas tema : ‘Menghafal Al-Qur’an antara Anugerah Ilahi dan Kecerdasan‘.
Menurutnya lagi bahwa mukjizat jenis ini berlaku hanya ketika para Nabi tersebut masih hidup. Namun ketika para Nabi tersebut wafat, maka selesai sudah mukjizatnya. Sedangkan mukjizat jenis kedua adalah aqli, yaitu mukjizat yang sifatnya non materi berupa ajaran-ajaran dan mukjizat ini tetap berlaku meskipun Rasul yang membawanya telah wafat.
“Mukjizat jenis itu adalah Al-Qur’an al-karim. Meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, namun kemukjizatan Al-Qur’an tetap berlaku sepanjang masa. Di antara bukti kemukjizatan Al-Qur’an antara lain; Tidak akan ada yang dapat membuat seperti Al-Qur’an, jangankan 114 surah, bahkan satu surah yang pendek tidak akan sanggup,” tuturnya dihadapan ribuan jemaah yang biasa memadati Masjid Istiqlal.
Dipaparkan KH. Ali Nurdin lebih lanjut tentu bagi siapa saja yang meragukan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah subhanahu wata’ala – malah diberi kesempatan sejak dulu untuk membuat satu surah yang semisal Al-Qur’an. Hal ini ditegaskan pada Al-Qur’an surah al-Baqarah/2 ayat 23 :
وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Artinya : “Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad), buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
Bahkan, menurut dia lagi, bukan hanya manusia termasuk bangsa jin sekalipun ditantang untuk membuat yang semisal Al-Qur’an. Mereka pasti tidak akan bisa, hal ini ditegaskan pada Al-Qur’an surah al-Isra’/17 ayat 88 :
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Artinya : Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.” (QS. Al-Isra [17]: 88)
Termasuk bukti kemukjizatan Al-Qur’an adalah terjaga otentisitas keasliannya sejak diturunkan sampai hari kiamat. Berbeda halnya dengan Kitab Suci sebelumnya yang penjagaannya diserahkan kepada para ulama mereka (QS. al-Maidah/5: 44). Sedangkan Al-Qur’an ditegaskan dan dijamin oleh Allah subhanahu wata’ala otentisitasnya seperti tersebut dalam Al-Qur’an surat al-Hijr/15 ayat 9 :
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Dijelaskan bahwa para ulama tafsir secara umum menafsirkan ayat tersebut adalah: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an melalui perantara Malaikat Jibril dan pasti kami pula bersama Malaikat Jibril dan kaum mukmin yang selalu memelihara keaslian, kesucian dan kekekalan-NYA hingga akhir zaman. Poin yang ingin digarisbawahi adalah penegasan bahwa Kami yang memeliharanya. Yang dimaknai bahwa dalam pemeliharaan Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala melibatkan hamba-NYA yang diantaranya dengan menanamkan semangat untuk mempelajari dan menghafalkannya.
Sedangkan bukti konkritnya, urai KH. Ali Nurdin, adalah pada setiap masyarakat muslim pasti ada sekelompok orang yang mempelajari dan mengfhafal Al-Qur’an. Meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Masalahnya adalah apakah kemampuan menghafal kitab suci Al-Qur’an itu suatu anugrah Allah subhanahu wata’ala ataukah kecerdasan manusia semata?
Kecerdasan yang berbeda-beda
Allah subhanahu wata’ala berfirman pada al-Qur’an surah al-Isra’/17 ayat 84 :
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا ࣖ
Artinya : Katakanlah (Nabi Muhammad SAW), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (QS. al-Isra’ [17]: 84)
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa setiap orang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala bakat kecerdasan yang bertingkat dan berbeda-beda. Di antara hikmahnya adalah karena aktifitas pekerjaan manusia yang memang berbeda-beda. Hal ini ditegaskan pada Al-Qur’an surah al-Lail/92 ayat 4 :
اِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتّٰىۗ
Artinya : “Sesungguhnya usahamu benar-benar beraneka ragam.” (QS. Al-Lail [92]: 4)
Sekedar contoh seorang yang bekerja sebagai petani tentu tidak membutuhkan kemampuan matematika tingkat tinggi seperti profesi insinyur misalnya. Demikian juga seorang olahragawan tidak membutuhkan kemampuan untuk memahami rumus-rumus ilmu kimia yang njlimet. Dari sinilah dapat dipahami apa yang di era modern disebut sebagai multiple intelegensia (kecerdasan jama’i), meskipun pada level tertentu bisa dikembangkan namun pada level yang tinggi pada akhirnya setiap orang memiliki kecerdasan dan kecenderungan yang berbeda-beda. Tidak mungkin ada orang yang cerdas dalam segala hal.
Demikian juga dalam menghafal Al-Qur’an al-karim; kesempatan menghafal dimiliki oleh setiap orang sebagai anugrah dari Allah subhanahu wata’ala, namun bagaimana seseorang kemudian mengaktualisasikan potensi tersebut tentu akan banyak dipengaruhi berbagai faktor.
Kuatnya hafalan seseorang adalah bagian dari anugrah Allah subhanahu wata’ala, namun apakah anugrah tersebut dimanfaaatkan untuk menghafal Al-Qur’an adalah hal yang berbeda? Yang pasti kuat lemahnya hafalan seseorang ketika itu digunakan untuk berusaha menghafal Al-Qur’an dengan niat yang baik dan benar itulah anugrah yang sebenarnya yang merupakan bentuk hidayah dari Allah subhanahu wata’ala.
Kemudian, lanjut khutbahnya, bagi yang bersungguh-sungguh untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, ada jaminan dari Allah subhanahu wata’ala untuk diberikan kemudahan. Hal ini ditegaskan pada Al-Qur’an surah al-Qamar/54 yang terulang sebanyak empat kali di ayat 17, 22, 32 dan 40 dengan redaksi yang sama;
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ࣖ
Artinya : “Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Al-Qur’an sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar [54]: 22)
Dalam menghafal Al-Qur’an prinsip utamanya adalah niat yang lurus dan bersungguh-sungguh. Tentang hasilnya itu menjadi domain Allah subhanahu wata’ala. Karena dengan selalu bersama Al-Qur’an karena proses menghafal dan mengulang (muraja’ah/takrir), hakikatnya itu sudah sebuah anugrah yang luar biasa. Yang pasti, siapa saja yang bersungguh-sungguh Allah subhanahu wata’ala akan memberi petunjuk. Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an surah al-‘Ankabut/29 ayat 69 :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya : “Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-‘Ankabut [29]: 69). □ RED/AGUS SANTOSA