JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Dalam khutbah Jum’atnya di Masjid Istiqlal Jakarta, DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir MA membuka dengan memaparkan pembahasan bahwa di Al-Qur’an, Allah SWT menunjukkan adanya iktibar dua karakteristik makhluk yang sungguh berbeda. Bahkan sangat bertolak belakang, baik sifat maupun perilakunya.
“Pertama, makhluk yang diciptakan-NYA sebagai makhluk yang sifatnya individualistik dan egostik, yaitu laba-laba (Al-Ankabut) yang menjadi salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an. Yakni surat Al-Ankabut, surat yang ke-29. Dimana Allah SWT menamai surat Al-Ankabut dengan kalimat tunggal (Mufrad). Bukan dengan kalimat jama‘ yang menunjukkan banyak Laba-Laba (‘anakib),” ucapnya.
Penyebutan dengan nama Al-Ankabut (satu laba-laba), seakan Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa karakter hidup laba-laba selalu menyendiri, tidak mau berkawan dan selalu bermusuhan satu sama lainnya. Apapun bagi laba-laba dikerjakan sendiri, cari makan sendiri dan dimakannya sendiri.
“Jika ada temannya yang mendekatinya pasti dibunuh dan dimangsanya. Bahkan jantannya yang telah membuahinya, juga dengan sadis dibunuh dan dimangsanya,” urai KH An Nur melanjutkan khutbahnya.
Padahal, lanjut dia, di sisi lain laba-laba pun memiliki keunggulan dengan benang sutranya yang walaupun begitu tipis tapi sangat kuat. “Para Ilmuwan Barat dalam penelitiannya menemukan satu bukti bahwa benang sutra laba-laba, justru lebih kuat dari tembaga. Kemudian, sarang laba-laba pun menjadi incaran atau banyak dicari,” katanya.
Pada ayat tersebut menujukkan kepada kita dari sisi kita sebagai makhluk individu (inasiah), dimana semua perbuatan kita akan kita pertanggunjawabkan (al-Mas’uliyah) secara individu (QS al-Isyra’ : 13). “Bahwa siapapun yang menggantungkan atau menyadarkan diri bahwa menghambakan diri kepada selain Allah SWT mungkin kepada kekayaan materi, kedudukan, pangkat dan jabatan – kehidupannya tidak akan senang atau selalu resah gelisah (kal’ankabut), seperti laba-laba penuh kebencian dan jauh dari kasih sayang.”
Kedua, menurut KH A Nur, makhluk yang diciptakan-NYA sebagai makhluk kolektif. Yang selalu kompak dan bekerjasama satu dengan yang lainnya. Yakni semut (namlah) dan lebah (nahlah). Keduanya dipilih menjadi nama surat dalam Al-Qur’an. Namun dari kehidupan keduanya patut dicontoh.
Sungguh luar biasa perilaku semut sehingga diabadikan dan diceritakan kepada kita umat manusia, seperti difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa ketika Nabi Sulaiman AS dengan bala tentaranya dari golongan jin, manusia burung berbaris tertib.
Maka : Tatkala mereka sampai dilembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut. Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak-injak oleh Nabi Sulaiman AS dan bala tentaranya“. Sedangkan mereka tidak menyadari. Nabi Sulaiman AS pun tersenyum dan lalu ketawa setelah mendengar perkataan semut itu.
Kemudian, Nabi Sulaiman AS pun berdoa, “Ya, Tuhanku, anugerahkanlah aku ilmu untuk tetap mensyukuri nikmat-MU yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orangtuaku dan agar aku mengerjakan yang Engkau ridhoi. Masukkanlah aku dengan rahmat-MU ke dalam golongan hamba-hamba-MU yang saleh” (QS. al-Naml : 18 – 19).
“Banyak hal yang patut dicontoh dari kehidupan semut untuk kita terapkan dalam kehidupan kita. Sifat sosialnya tinggi, semangat juangnya, tanggungjawab dan kebersamaanya. Saling menjaga dan memberikan informasi. Mereka menjalankan tugasnya, sesuai dengan tanggungjawab masing-masing. Komunitas semut juga menjalankan tugasnya sesuai dengan stratanya. Ada ratu semut dan pejantan, ada semut prajurit dan ada semut pekerja,” urai KH A Nur, panjang lebar.
Ketiga, sedangkan kita manusia diciptakan Allah SWT mempunyai dua sisi (dimensi) sekaligus. Baik itu sebagai makhluk individual (al-insan) maupun makhluk sosial (al-dhamir). Manusia bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, baik dan buruknya. Allah SWT berfirman: “Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul orang lain. Manusia (al-insan) hanya memperoleh apa yang telah diusahakannnya. Dan, sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” (QS. al-Najm : 30 – 40).
Kerena itu dalam perspektif Islam setiap individu, manusia (al-insan) mempunyai hak dan kewajiban serta kesetaraan maupun kebebasan yang sama untuk mengembangkan atau membangun kualitas diri pribadi masing-masing, terkait dimensi intelek, dimensi moral dan dimensi spiritual.
Digambarkan KH A Nur bahwa pada kesempatan haji wada, dikala wukuf di padang Arafah, Rasulullah SAW berkhutbah terkait kesetaraan manusia dengan menggunakan “Ya ayyuhanas” (wahai manusia). “Ya ayyuhanas, innallaha qad adzhaba ‘ankum nakhwatal-jahiliyah wa ta’azhumaha bil-aba, kulkukum min Adam, wa Adamu min turab, laisa li ‘arabiyyin ‘ala a’jamiyyin illa bittaqwa. (Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT telah mencabut dari kalian panatisme jahiliyyah yang suka mengangung-agungkan nenek moyangnya. Semua kaliab berasal dari Adam. Dan, Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keistimewaan orang Arab, dihadapan orang non Arab, kecuali taqwa.
“Sedangkan ibadah qurban merupakan salah satu ibadah sosial yang menunjukkan pentingnya manusia dengan Allah SWT dan sekaligus menjalin hubungan manusia dengan manusia sebagai hamba Allah SWT. Ibadah qurban yang diawali dari kesejarahan adanya perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra tunggal kesayangannya, Nabi Ismail AS. Kemudian, ibadah qurban diwariskan syariatnya kepada kita umat Islam,” tutup khutbahnya. ■ RED/AGUS SANTOSA
1 Comment
Walaupun laba-laba sifatnys sebagai makhluk individualistik atau egostik, tetapi ada kelebihannya yang lain yaitu menolong Nabi Muhammad SAW dengan sarang laba-labannya waktu Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar Shiddiq RA bersembunyi di Gua Tsur karena dikejar-kejar musuh. Jadi semua makhluk yang Allah SWT ciptakan itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.