JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Kalangan seniman yang tergabung di Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM), bersatu menyuarakan aspirasinya. Menggelar aksi dan berkhidmat dalam doa sebagai wujud keprihatinan mendalam atas nasib buruk yang terus merundung Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta hingga saat ini.
Mereka melakukan aksi dalam bentuk performance art bertitle ‘Poetic Resistence’ di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, Senin (22/08/2022) kemarin. Sedangkan ritual arak-arakan dimulai dari Jalan Veteran I hingga berujung di depan Gedung Mahkamah Agung.
“Pada intinya kami menolak segala bentuk usaha yang menjadikan TIM sebagai kawasan komersial. Menolak keberadaan kepemimpinan TIM di bawah pejabat non-seniman,” papar Koordinator Aksi Forum Seniman Peduli TIM, Mogan Pasaribu, dalam keterangan persnya.
Taman Ismail Marzuki (TIM), lanjut Mogan, tak boleh dikacaukan dan dibusukkan dengan urusan untung rugi ala kapitalis. “Kami sangat berkepentingan. Menuntut peraturan yang menyusahkan banyak pihak, dalam hal ini Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, para seniman dan Taman Ismail Marzuki, dicabut,” tegasnya.
Dalam aksi yang diberi lekatan ‘Menuju Mahkamah’ tersebut, lanjut Mogan, bagian dari upaya mengawal gugatan yang sudah dikuasakan kepada Pengacara Effendi Saman SH.
Sedangkan gugatan dimaksud berupa pengajuan hak uji materiel terhadap Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2019 juncto Nomor 16 Tahun 2022 yang memberi wewenang kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).
“Ini perusahaan perseroan daerah aneh. Sesuai Akta Notaris Nomor 24, tanggal 26 Oktober 2021, bidang usahanya perdagangan, jasa dan pengembangan, infrastruktur serta utilitas real estate dan infrastruktur. Sama sekali tak menyentuh soal kesenian,” tegas Mogan, lagi.
Prosesi dalam bentuk ‘performance art’ ini menampilkan ekspresi spiritual yang berangkat dari pengalaman tubuh, kegelisahan pikiran, dan kesedihan batin selama hampir tiga tahun berjuang dalam gerakan #saveTIM. Menolak kehadiran PT Jakpro sebagai penguasa TIM, serta merindukan ruang yang lapang dan merdeka.
Prosesi tersebut merupakan kreasi Mohamad Ichlas, koreografer senior, putra Huriah Adam. Sanggar tarinya pernah dibangunkan oleh Ali Sadikin. Namun kemudian dirubuhkan di zaman Gubernur Tjokropranolo. Didukung pula olah musik bertajuk ‘Poetic Resistence’ yang dimainkan Yaser Arafat, musisi alumnus Institut Seni Indonesia, Padang Panjang, pemimpin kelompok musik Arafat Ensambel.
Yang jelas ‘Poetic Resistence’ menjadi serangkaian pementasan, baik teater, tari, musik maupun sastra yang didedikasikan sejumlah seniman. Baik selama proses persidangan hingga palu hakim diketuk nantinya.
TIM INVESTASI KULTURAL
Dikatakan Moga bahwa 54 tahun yang lalu, Gubernur Ali Sadikin sudah tegaskan saat meresmikan Taman Ismail Marzuki pada tanggal, 10 Nopember 1968, sebagaimana dikutip Pelopor Baru, No. 684 Tahun 1968, bahwa TIM dibangun sebagai investasi kultural. Hasilnya tidak segera dapat dikecap, tapi memakan waktu yang lama.
Menurut Mogan, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2022, adalah pangkal persoalan yang memicu kemelut atas nasib TIM yang didirikan Ali Sadikin tersebut.
“Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan. Di komplek Pusat Kesenian Jakarta ini akan memberikan bunga dan buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita di ibukota di masa datang,” demikian kata Ali Sadikin.
“Penugasan kepada PT Jakpro, BUMD yang tupoksinya membangun dan merawat gedung-gedung untuk mengelola TIM, tidak tanggung-tanggung selama 28 tahun, adalah kebijakan keliru,” ucap Mogan.
Di beberapa pasal dalam Pergub. Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub. Nomor 16 Tahun 2022 tersebut, Jakpro berwenang penuh, antara lain menyewakan seluruh ruang dan bangunan. Mengelola lahan parkir bawah tanah, mengelola hampir dua ratusan kamar penginapan, memasang dan menyewakan media iklan luar ruang (videotron).
“Kekuasaan mutlak Jakpro bertindak sebagai predator; gergasi yang leluasa menggerogoti ruang yang selama ini menjadi wilayah interaksi pemikiran dan gelanggang ekspresi para seniman,” tegasnya.
Berdasarkan dua Pergub tersebut PT Jakpro mengamputasi dan mengambil alih sebagian besar kedudukan, kewenangan, tugas pokok, fungsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta di TIM. Bahkan termasuk aset (berupa tanah) di Jalan Cikini Raya No. 73 Jakarta.
“Preseden buruk yang ganjil. Malpraktik kebijakan. Menebas dan memberangus banyak hal. Sekaligus mencederai marwah ruang kesenian, moral kaum seniman, serta filosofi dan sejarah TIM itu sendiri,” pungkas Mogan. ■ RED/GOES