OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA
PUASA bicara sering menjadi wacana orang-orang dekat Tuhan (Khalil Allah). Sedangkan, wacana puasanya orang awam berkutat pada makan, minum dan berhubungan suami-istri. Atau mungkin sedikit meningkat ke wacana puasa panca indera, baik lahir maupun bathin.
Lihatlah, misalnya nazar Nabi Zakaria. Ia bernazar untuk berpuasa bicara dengan manusia selama tiga hari. Mengapa hanya tiga hari? Ini syarat bahwa kita lebih gampang bicara ketimbang tidak bicara.
Kita lebih sulit untuk diam daripada bicara. Mungkin lebih sulit berpuasa bicara tiga hari daripada berpuasa untuk makan-minum selama sebulan.
Bayangkan, jika selama Ramadhan 30 hari, selain kita gunakan berpuasa tidak makan, minum dan berhubungan suami-istri, ditambah berpuasa bicara apalagi kita gunakan lebih banyak fokus untuk berkomunikasi dengan Tuhan dalam bentuk tadarus Al-Qur’an, berdzikir atau shalat. Sudah tentu kita akan lebih mudah meraih janji Tuhan, yaitu meraih ketaqwaam (la’allakum tattaqun).
Berpuasa bicara (al-sukut dan al-shumt) mestinya bukan hanya dilakukan pada bulan suci Ramadhan, tetapi juga di luar Ramadhan. Idealnya berpuasa bicara ini menjadi kepribadian kita. Semakin banyak kita berbicara semakin terbuka peluang untuk memamerkan aib kita.
Semakin banyak bicara semakin besar peluang untuk berbohong. Kita tidak bisa menjamin apakah yang kita sampaikan kepada orang lain sepenuhnya benar atau mengurangi materi infomarsi yang kita sampaikan kepada orang sulit sekali untuk dikontrol.
Dalam suasana kampanye Pilpres dan pertandingan sepakbola Piala Dunia, peluang untuk menyampaikan komentar yang mengandung nilai negatif sulit dikontrol. Apalagi jika subjektivitas kita larut dengan pilihan-pilihan tersebut. Mumpung masih awal puasa, mari kita mengamalkan puasa bicara! (***/goes)