JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Di sejumlah daerah di Indonesia mengalami perubahan cuaca yang tidak seperti biasanya. Termasuk untuk di wilayah Jabodetabek. Suhu udara terasa sangat panas dalam beberapa hari terakhir, apalagi khusus di siang hari. Berikut twitter BMKG memberikan penjelasan, agar warga masyarakat mengetahui dengan benar.
Kendati untuk terkait hal itu, ternyata pada 20 Maret 2023 lalu, BMKG sebenarnya telah menyatakan bahwa fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan.
“Jadi, fenomena perubahan iklim ini, makin mengkhawatirkan lho! Ini bisa dilihat dari maraknya bencana hidrometeorologi di dunia dan suhu udara yang lebih panas lagi,” demikian penjelasan yang dikutip dari akun twitter BMKG, Minggu (23/4/2023).
Dijelaskan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati bahwa pada Maret 2023 kemarin, bahwa di tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia. Yakni dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.
Sedangkan di tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali 0,6 C. Sementara di tahun 2020, Indonesia juga menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C.
Sementara World Meteorological Organization (WMO) dalam State of the Climate 2022 yang terbit awal 2023, menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat ke-6 tahun terpanas dunia. Periode 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dalam catatan WMO.
Namun di awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
“Maka secara berurutan tahun-tahun tersebut adalah: 2016, 2020, 2019, 2017, 2015, 2022, 2021, 2018. Tahun 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2°C terhadap periode revolusi industri,” jelas Dwikorita yang dihubungi POSBERITAKOTA, Minggu (23/4/2023) siang.
“Soal kondisi terpanas itu dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino,” tambah dia, menerangkan.
Namun karena kondisi itu pula yang mengakibatkan lebih cepat mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1% saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis.
Ditambahkan Dwikorita bahwa akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 – 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
“Untuk contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi,” urainya, lagi.
“Tapi untuk yang terbaru adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa,” tutup Dwikorita dalam keterangan resminya. ■ RED/THONIE AG/AGUS S