OLEH : HANNOENG M. NUR
KASAT Narkoba Polres Jakarta Timur (Jaktim), AKBP Buddy A Towoliu, Sabtu pagi (29/4) kemarin ditemukan tewas mengenaskan di perlintasan kereta api depan Pasar Enjo, Cipinang, Jakarta Timur. Dugaan sementara seperti yang dirilis oleh pihak kepolisian adalah yang bersangkuan meninggal karena bunuh diri. Peristiwa (dugaan) bunuh diri oleh perwira menengah (Pamen) Polri tersebut menjadi catatan khusus yan menambah jumlah anggota Polri yang melakukan tindak bunuh diri.
Ada sederet kejadian serupa yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Di tahun ini saja setidaknya ada 4 (empat) kejadian bunuh diri yang melibatkan anggota Polri, termasuk yang ditulis di atas tadi. Ketiga lainnya adalah peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh Bripka AS (anggota Polres Samosir) lalu Briptu RF (anggota 6 Gorontalo) Bripda DK (anggota Ditsamapta Polda Banten). Semuanya terjadi dalam rentang waktu empat bulan ini.
Kejadian bunuh diri barangkali adalah sesuatu yang ‘biasa’ dalam kehidupan sosial kita. Biasa itu dalam konteks kuantitatif (seringnya terjadi), bukan sebagai sebuah tindakan atau aksi. Sebanyak atau sesedikit apa pun tindakan bunuh diri, haruslah tetap dianggap sebagai sesuatu tindakan yang ‘tidak biasa’ dan berada di luar akal sehat dan rasionalitas.
Dan, kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh anggota polisi lebih terasa extra ordinary lagi, manakala kita tahu bahwa seorang anggota kepolisian notabene memiliki ketahanan atau kekuatan mental yang berada di atas masyarakat sipil. Sebab titik utama yang melatar-belakangi tindakan bunuh diri adalah pada kekuatan atau ketahanan mental yang dimiliki oleh si pelaku. Ada kekuatan mental yang lemah, ada ketahanan mental yang ambruk, manakala seseorang memutuskan untuk bunuh diri.
Di dalam semua sisi pandangan, tindak bunuh diri tak pernah mendapat tempat yang positif, selalu saja kehilangan nilai pembenaran atasnya. Kalau kita bicara dalam konteks agama saja, hal bunuh diri memperoleh posisi sebagai sesuatu yang sangat dilarang, bahkan dibenci oleh Tuhan YME.
Dalam Islam, misalnya ada surat An Nisa ayat 29 yang membahal hal itu. Isinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Terlihat jelas, sebegitu tak sukanya, sebegitu tak merestuinya Allah SWT pada tindakan bunuh diri. Dalam analogi yang paling sederhana namun kuat, tindakan bunuh diri sejatinya mendahului takdir Allah SWT. Betapa tidak terpujinya perilaku bunuh diri itu.
Ada begitu banyak tinjauan psikologi tentang tindak bunuh diri. Salah satunya adalah dari Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) yang mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri.
Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik dan penyalahgunaan obat-obatan. Berdasarkan pada teori ini, maka pastilah setiap anggota polisi yang melakukan tindak bunuh diri memiliki alasan-alasan atau latar belakang yang berbeda satu sama lain.
Namun secara umum, secara garis komando, tindak bunuh diri yang dilakukan oleh anggota polisi adalah memiliki keterkaitan tanggungjawab dengan para atasan mereka. Tentu saja bukan keterkaitan tanggung jawab secara kejadian, namun lebih kepada tanggungjawab dalam konteks hirarki. Persoalan yang melatar-belakangi tindakan bunuh diri seorang anggota polisi barangkali adalah lebih bersifat personal, namun keputusannya melakukan tindak bunuh diri tak dapat dilepaskan begitu saja dari wilayah tanggungjawab seorang atasan.
Setidaknya, ada sebuah pola komunikasi ideal yang terputus, yang tidak berjalan dengan baik, sehingga lahir aksi atau tindakan yang cenderung bernuansa sangat egois dan ‘sepihak‘, yaitu bunuh diri. Jika saja komunikasi ideal berjalan dengan baik, mungkin saja bunuh diri adalah bukan menjadi pilihan terbaik untuk menyelesaikan sebuah persoalan.
Rasa frustrasi terhadap sebuah keadaan (di luar dirinya) bisa juga menjadi penyebab tindak bunuh diri. Hal itu melewati wilayah personal, namun lebih kepada (minimal) wilayah korps atau kesatuan. Di dalam kondisi psikopatologis seperti yang diungkap oleh Jamison di atas terdapat juga soal tersebut.
Ketika para atasan memberikan teladan yang kurang baik, contoh yang negatif, maka besar kemungkinan memunculkan rasa frustrasi terhadap kesatuan secara menyeluruh. Esprit de corps atau jiwa korsa para bawahan akan terganggu akibat ulah oknum atasan yang dianggap merusak jiwa korsa itu sendiri.
Dalam kasus di tubuh kepolisian, ada beberapa tindakan oknum polisi yang bisa dianggap demikian. Katakanlah, misalnya, kejadian di Duren 3 yang melibatkan seorang jenderal polisi bintang 3, lalu juga penyalahgunaan barang bukti narkoba yang melibatkan jenderal polisi bintang 2. Belum lagi dengan terkuaknya gaya hidup hedonisme beberapa anggota kepolisian. Besar atau kecil, hal itu berpegaruh pada semangat dan kebanggaan terhadap jiwa korsa 430.000 anggota polisi dan 30.000 tenaga sipil yang bekerja di bawah Kepolisian Republik Indonesia.
Kasus bunuh diri anggota polisi adalah salah satu hal yang membuat kita semua berpikir bahwa memang harus ada sebuah perombakan atau peneguhan kembali menyangkut masalah mentalitas di tubuh Polri. Revolusi mental yang digaungkan oleh Polri beberapa tahun lampau haruslah segera diimplementasikan secara lebih masif dan komprehensif lagi.
Tak bisa itu hanya berdiri sendiri sebagai sebuah slogan atau wacana. Berpegang pada apa yang diucapkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo bahwa “ikan busuk dimulai dari kepala”, maka semua perbaikan di tubuh Polri memang haruslah dimulai dari para atasan, bukan sebaliknya, memperbaiki para bawahan seraya lalai memperbaiki para atasan. (***)
(PENULIS adalah pemerhati masalah Kepolisian dan Redaktur POSBERITAKOTA, tinggal di Depok)