OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
SA’ID ibn Musayyab meriwayatkan bahwa Nabi pernah berkata : “Ketika seorang pria Muslim berniat untuk mendatangi istrinya, Tuhan mencatatkan untuknya 20 amal kebajikan dan menghapuskan 40 perbuatan buruk. Ketika dia mencium istrinya, Tuhan mencatatkan untuknya 60 amal kebajikan dan menghapuskan darinya 60 perbuatan buruk. Ketika dia mencium istrinya, Tuhan mencatatkan untuknya 60 amal kebajikan dan menghapuskan darinya 60 perbuatan buruk”.
“Ketika menggauli istrinya, Tuhan menuliskan untuknya 120 amal kebajikan! Ketika dia berdiri untuk membersihkan dirinya (mandi junub), Tuhan membanggakannya di depan para malaikat dan berfirman : “Lihatlah hambaku, dia berdiri ditengah malam yang dingin untuk membersihkan dirinya dari kotoran (janabah) untuk mendapatkan perkenan dari Tuhannya. Jadilah saksi-Ku bahwa Aku telah mengampuninya.”
Keterangan ini diperoleh dari kitab Kasus al-Asrar, karya monumental Maybudi, juz 1 halaman 610-611, ketika menafsirkan ayat: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah [2]: 228).
Riwayat yang di Kutub Maybudi di atas menunjukkan janabah sebagai suatu kondisi dimana seseorang berada dalam keadaan kotor (impurity). Penjelasan ini sejalan dengan ayat : “… wa in kuntum jurusan fat thahharu” (dan jika kamu junub maka mandilah) (QS al-Maidah [5] :6). Sama juga dengan penjelasan dalam kitab-kitab fikih bahwa junub adalah suatu kondisi tidak bersih bagi seseorang untuk melaksanakan sejumlah ibadah.
Kata junub berasal dari akar kata janaba-yajnub, berarti ‘menjauhkan’, kemudian membentuk kata al-janib (orang asing, orang yang tidak patuh), al-junubah (sesuatu yang dijauhi), al-minjab (tabir, penutup), al-ijtinab (orang yang dihindari, dijauhi).
Dari akar kata tersebut kemudian lahir kata junub atau janabah, berarti tidak suci, impure, shabathu al-janabah (in a state of major ritual impurity/berada dalam keadaan tidak suci melakukan ibadah ritual). Dan al-janabah (orang yang dalam keadaan junub, tidak suci).
Dalam pandangan tasawuf, junub berarti jauh atau mengambil jarak dengan Allah SWT, karena ia telah melakukan kefanaan kepada makhluk atau objek nafsu biologis. Idealnya, manusia fana kepada Tuhannya, tetapi ia fana kepada makhluk.
Dengan demikian, ia turun ke dalam martabat kebinatangan yang lebih rendah dari dirinya sebagai makhluk spiritual. Ia berpaling dari suasana batin ke suasana biologis.
Janabah adalah hijab untuk berjumpa Tuhan. Untuk kembali dekat dengan Allah SWT, ia harus membersihkan diri dengan cara-cara syariah dan hakikat. Ia harus menyucikan diri dengan mandi junub, yaitu membersihkan diri dengan cara syariah dan hakikat dengan niat untuk kembali memposisikan diri sebagai makhluk yang agung.
Mandi junub menurut kalangan sufi bukan saja mencuci dan membersihkan seluruh anggota badan, melainkan juga membersihkan jiwa dan kalbu, pikiran dan ruh. Orang yang junub berarti memalingkan dari Sang Khalik kepada sang makhluk. Pemalingan diri dari Tuhan kepada makhluk pangkal segala kehinaan.
Mandi junub merupakan cara untuk meninggalkan dunia walaupun sekadar sehelai rambut. Sebab, ketika mandi secara syariat, jika ada sehelai rambut di tubuh yang belum tersentuh oleh air, mandi wajibnya tidak sah dan orang yang junub belum mensucikan dirinya dari janabah.
Ketergantungan kepada dunia walau sehelai rambut bisa menjadi penghalang (hijab) untuk berjumpa dengan Tuhan. Nenek moyang kita, Adam dan Hawa jatuh ke bumi penderitaan dari langit kebahagiaan karena meninggalkan perhatiannya dari Tuhan kepada dunia yang disimbolkan dengan pohon (al-syajar) (QS. al-Baqarah [2]: 35). Keduanya harus membersihkan diri jika hendak kembali ke langit kebahagiaan.
Jika hawa nafsu menguasai diri seseorang, ia akan memberhalakan objek dunia dan mencintainya melebihi kecintaan terhadap Tuhannya. Tunduk dan loyal kepada selain Allah SWT adalah musyrik.
Orang musyrik itu kotor dan tidak layak mendekati Allah SWT yang Maha bersih sebagai firman Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. (QS. at-Taubah [9] : 28). Orang yang kotor (najasah) tidak pantas juga berdiam di masjid. Dalam hadis disebutkan ” Bumi ini adalah masjid”.
Ini bisa dipahami bahwa sesungguhnya orang-orang kotor, baik karena najasah maupun janabah, tidak ada tempat atasnya di bumi ini. Bahkan, kalangan ahli hakikat mengatakan, manusia seharusnya berada di dalam keadaan berisih karena badannya sendiri adalah tempat sujud (masjid) bagi unsur spiritual yang ada dalam dirinya. Seperti akal, jiwa, kalbu dan ruh.
Badan manusia disebut ‘Baitullah, karena tempat bersemayamnya roh. Yang didalam dunia tasawuf dikenal sebagai unsur Luhut yang diinstal ke dalam diri manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat : “Fa idza sawwaituhu wa nafakthu fihi mim ruhifi fa ‘qa’u lagu sajidin” (Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduk lah kamu kepadanya dengan bersyukur) (QS, al-Hijr [15] : 29).
Allah SWT menegaskan: “Wa tsiyabaka fa thahhhir, wa alma faktur” (Bersihkanlah pakaianmu! Tinggalkan perbuatan dosa). (QS. al-Mudatsir [74] : 4-5) Yang dimaksud pakaian (al-tsiyab), menurut ulama tafsir sufi bukanlah pakaian pakai yang nempel di badan, melainkan badan kita sendiri sebagai pakaian. Yakni pakaian akal, jiwa, kalbu dan ruh. Wajar kalau pembersihannya ialah menjauhi dosa (wa al-rujza fahjur). (***/goes)