OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
PENGERTIAN ‘Insan Kamil‘ secara literal berarti manusia paripurna. Namun dalam literatur teologi dan sufistik tidak sesederhana itu. Bagi kalangan sufi, ‘Insan Kamil‘ dipahami sebagai lokus penampakan (Madhhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama – nama dan sifat-sifat-NYA. Di antara para sufi yang mendalami ‘Insan Kamil‘ ini ialah Ibnu Arabi dan ‘Abd al-Karim al-Jili.
Bagi kalangan sufi, Allah subhanahu wata’ala memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (Tafadlul) atau Ahsani Taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Al-Qur’an. Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan, manusialah yang paling siap (Istidad) menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.
Makhluk-makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat, tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-NYA. Itulah sebabnya mengapa manusia oleh SH Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul di diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh- tumbuhan dan binatang sebagai makhluk fisik dan ada unsur spiritualnya yang nonfisik, yakni roh. Tegasnya, manusia secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk l makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan juga di dalam ayat dan hadits. Dalam Al-Qur’an manusia diciptakan paling sempurna (QS. al-Tin (95): 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad (38): 75), dan telah diajar langsung oleh Allah subhanahu wata’ala semua nama-nama (QS. al-Baqarah (2): 31).
Dalam hadits-hadits tasawuf juga banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti: “Inna Allah khalaqa Adam ‘alashuratih‘ (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-NYA). Ayat-ayat dan hadits ini, oleh kalangan sufi, bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna tetapi juga seolah menjadi ‘Nuskhah‘ (copy) Tuhan atau al-shurah al-kamilah menurut istilah Ibn ‘Arabi.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, baik dalam bentuk keagungan (jalaliyyah) maupun keindahan (jamaliyyah) Allah subhanahu wata’ala. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun (al-Ghafur), Maha Pemaaf (al-Afuw) dan Maha Penerima Taubat (al-Tawwab) karena malaikat tidak pernah berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hamba-NYA yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah yang lain hanya mampu mengejawantahkan sebagian asma dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut ‘Insan Kamil‘
Kesempurnaan lain manusia, menurut Ibnu Arabi, dalam diri manusia mempunyai perpaduan (jam’iyyah) dua unsur penting, yaitu aspek lahir dan aspek batin. Aspek lahir baharu (hadits) dan aspek batin yang tidak baharu. Dengan kata lain, seperti, disimpulkan oleh Dr. Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Maka, aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya Tuhan. Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia”.
Namun, perlu diketahui bahwa konsep insan kamil, baik oleh Ibnu ‘Arabi maupun oleh al-Jili, tidak semua anak manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya sebagai manusia, seperti manusia yang didikte oleh hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, maka menurut Ibnu Arabi tidak layak disebut ‘Insan Kamil’
Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syari’ah dan makrifatnya benar yang layak disebut ‘Insan Kamil‘ Manusia yang tidak mencapai tingkatnkesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.
Kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (al-nuthq) yang dimilikinya tetapi pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya. Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih kepada kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai ‘Insan Kamil‘.
Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal tetapi kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia untuk menyingkap tabir (kasf al-hijab) yang menutupi dirinya dengan Tuhan. Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat dari pada akal pikiran. Wallahu a’lam. ® [***/goes]