JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Sosok wartawan yang juga dikenal sebagai sastrawan, Akhmad Sekhu, bisa dibilang nyaris tak pernah kendor melahirkan karya-karya baru. Sepanjang tahun, diluar kesibukannya sebagai ‘jurnalis’ (wartawan-red), ada saja waktu luang untuk dimanfaatkan menulis buku.
Seperti diketahui setelah menerbitkan buku puisi ‘Memo Kemanusiaan’ yang diterbitkan penerbit legendaris Balai Pustaka (2022), Akhmad Sekhu selanjutnya menyiapkan lagi beberapa buku. Di antaranya adalah buku puisi ‘Indonesia Negara Paling Puitis di Dunia’ (manuskrip), kumpulan cerpen ‘Semangat Orang-Orang Jempolan’ (manuskrip), novel ‘Sang Penerus’ yang berkisah tentang pejuang kemanusiaan RA Kardinah, adik RA Kartini dan novel ‘Massa’ (judul sementara) berkisah tentang nilai-nilai kemanusiaan di balik peristiwa tragedi Mei 1998.
Namun sebelum itu telah menerbitkan buku puisi ‘Penyeberangan ke Masa Depan’ (1997), buku puisi ‘Cakrawala Menjelang’ (2000), novel ‘Jejak Gelisah’ (2005), ‘Chemistry’ (2018) dan ‘Pocinta’ (2021). Ternyata ada kekhasan yang dimiliki Akhmad Sekhu serial meluncurkan karya-karyanya. Apa itu?
“Bagaikan sudah jadi pilihan dan keharusan. Setiap bikin karya, saya selalu concern dan banyak mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang ada dan banyak terlihat Dalam kehidupan ini. Alasannya, karena saya ingin terus menghidup mata bathin dan jiwa saya,” ujar Akhmad Sekhu kepada POSBERITAKOTA, Selasa (4/7/2023).
Dipaparkan lelaki kelahiran Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal (27 Mei 1971) bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang membuat karyanya jadi ‘bernyawa’. “Hal ini yang membuat saya tetap semangat berkarya, karena selalu ada dorongan dari dalam karya itu sendiri untuk selalu dibaca,” imbuh Pemenang Favorit Sayembara Mengarang Puisi Teroka – Indonesiana ‘100 Tahun Chairil Anwar’ (2022) yang baru lalu.
Dikatakan Akhmad Sekhu bahwa pengalaman paling berkesan menggeluti dunia kepenulisan yang ditekuninya hampir 30 tahun lebih, jika karyanya dibaca secara khusus dalam sebuah acara kesenian. Salah satu contohnya di acara Malam Peduli Seniman yang digelar Yayasan Indonesia dan Majalah Horison di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa waktu yang lalu.
“Aktris legendaris Niniek L Karim membacakan puisi yang saya tulis khusus untuk Emakku Hj. Sumarti dan berjudul Konstruksi Ingatan Hakekat. Sungguh jiwa saya bergetar, apalagi sebelum membacakan puisi beliau meneriakkan nama saya yang kemudiaan membuat semua penonton tertuju padaku,” cerita suami Wanti Asmariyani dan ayah dua anak (Fahri Puitisandi Arsyi dan Gibran Noveliandra Syahbana) itu sedikit haru.
Akhmad Sekhu menyebut banyak tokoh yang menginspirasi karya-karyanya. Bukan hanya tokoh dalam dalam negeri, tapi juga luar negeri yang kiprahnya diakui dunia internasional dan bahkan meraih nobel perdamaian.
“Malala Yousafzai, seorang tokoh dari Pakistan. Tahun 2009, saat berumur 12, ia menulis di blognya dengan nama samaran untuk BBC tentang betapa mengerikannya hidup di bawah pemerintahan Taliban. Tahun 2014, ia bersama Kailash Satyarthi mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian 2014 untuk perjuangan mereka melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan hak pendidikan bagi mereka,”papar alumnus Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Diakuinya bahwa ada PR besar bagi Akhmad Sekhu, dirinya ingin merampungkan sebuah karya novel yang berjudul ‘Sang Penerus’ yang berkisah tentang pejuang kemanusiaan RA Kardinah, adik RA Kartini. “Saat saya masih kecil kalau sakit selalu periksa di Rumah Sakit Kardinah Tegal, nama Kardinah begitu sangat melekat dalam diri saya, yang ternyata rumah sakit tersebut didirikan RA Kardinah, adik RA Kartini, betapa saya terpanggil untuk menulis kisah beliau dalam karya novel sebagai sebuah penghormatan saya untuk beliau pejuang kemanusiaan, “ ucapnya mantap.
Akhmad Sekhu mengaku punya banyak keterbatasan untuk merampungkan novel tersebut. “Saya punya banyak keterbatasan untuk merampungkan novel ‘Sang Penerus’ yang berkisah tentang pejuang kemanusiaan RA Kardinah, adik RA Kartini. baik itu keterbatasan waktu karena kesibukan saya sebagai wartawan yang harus setiap hari liputan, dan juga keterbatasan dana karena novel yang berlatar sejarah tentu membutuhkan riset mendalam dengan dana besar,” kata dia penuh kesadaran, tapi tentu tetap semangat berkarya.
Kendati begitu, Akhmad Sekhu bersyukur dapat merampungkan tiga novel, yakni ‘Jejak Gelisah’ (2005), ‘Chemistry’ (2018), dan ‘Pocinta’ (2021). Ketiga novel tersebut tentu punya tantangan masing-masing dalam merampungkan penulisannya. “Alhamdulillah, saya bisa berkarya yang menjadi bagian penting dalam sejarah hidup saya,” ungkapnya penuh rasa syukur.
Lagi, Akhmad Sekhu menyampaikan dirinya akan terus berkarya karena karya yang membuat hidupnya ‘lebih hidup’. “Saya mempertaruhkan seluruh hidup saya ingin selalu semangat berkarya,” tutup Akhmad Sekhu, optimis.
Patut dan perlu diketahui, Akhmad Sekhu menulis berbagai tulisan, berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah tentang televisi di berbagai media massa. Puisi-puisinya masuk sekitar 50 buku antologi komunal, dari tahun 1994 sampai tahun 2023. Catatan tentang kesastrawanannya masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2001), Buku Pintar Sastra Indonesia (2001), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Gerbong Sastrawan Tegal (2010), Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), dan lain-lain. Karya-karyanya sudah banyak dijadikan bahan penelitian dan skripsi tingkat sarjana. ® [RED/R. ALDIANSYAH /EDITOR : GOES]