PosBeritaKota.com
Syiar

Khutbah di Masjid Istiqlal, PROF DR H MUAMMAR BAKRY LC MA Angkat Topik ‘Ekologi Spiritual dalam Merawat Jagat’

JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Dunia saat ini kembali disibukkan dengan isue perubahan iklim dan krisis lingkungan. Setidaknya, ada 196 negara anggota PPB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada perjanjian Paris, sepakat memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5 – 2 derajat celcius. Sayangnya hal tersebut gagal untuk diwujudkan.

Demikian intisari dari khutbah Jum’at tersebut disampaikan secara gamblang oleh Prof Dr H Muammar Bakry Lc MA selaku khotib yang mengangkat topik ‘Ekologi Spiritual dalam Merawat Jagat’ (Membangun Kesadaran Terhadap Lingkungan). Tidak kurang dari 30.000-an jamaah yang datang dari Jabodetabek, memadati Masjid Istiqlal Jakarta,

“Sedangkan untuk dampak serius pada lingkungan kita, beberapa di antaranya adalah cuaca yang susah diprediksi, meningkatnya suhu dan gelombang panas yang membawa bencana alam, hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan serta terjadi kekeringan dan gagal panen. Namun di wilayah lain terjadi banjir karena meningkatnya air permukaan laut di daerah-daerah pesisir dan lain-lain,” kata Prof Muammar.


Bukan hanya itu saja. Menurut Prof Muammar bahwa fenomena tersebut, tentu saja berdampak pada kondisi sosial masyarakat kita mulai dari perekonomian hingga pada kesehatan manusia. Ini berarti bahwa kerusakan alam dapat mengantar pada rusaknya tatanan sosial masyarakat kita dan bahkan mengancam kehidupan makhluk dalam lingkungan kita.

“Lingkungan yang terdiri dari benda hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan. Juga, benda tak hidup (a biotik) seperti air, udara (angin), tanah dan lain-lain. Di antara makhluk yang paling berkepentingan dengan lingkungan adalah manusia, karena itu manusia diberikan amanah sebagai khalifah
dengan fasilitas akal pikiran untuk mengelola, memelihara dan
menjaganya,” urai dia.

Masih dalam khutbahnya, Prof Muammar menyebutkan bahwa seluruh unsur lingkungan saling berhubungan untuk membentuk suatu kesatuan sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Di dalamnya ada produsen (tanaman), ada konsumen (manusia dan hewan), ada pengurai bahan organik (mikroba) dan ada komponen tak hidup (air, udara, mineral). Terganggunya salah satu unsur lingkungan akan berpengaruh terhadap sistem kehidupan alam semesta yang sudah diciptakan teratur dan seimbang.

Dalam Qur’an Surat Al-Mulk ayat 3 – 4, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang Artinya : “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali – kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang – ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (3) Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam
keadaan payah (4)”.

Sedangkan untuk menjaga Mizan tersebut, imbuh Prof Muammar, kita diperintahkan berihsan. Berihsan dengan standar minimal adalah tidak merusak ekosistem alam. Berihsan secara maksimal yakni melakukan hal-hal yang sifatnya transformatif untuk kemaslahatan lingkungan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan hukum alam atau sunnatullah.

“Perbuatan tidak membuang sampah di sembarang tempat adalah hal yang minimal dalam berihsan, tapi mengelola sampah menjadi hal yang produktif adalah berihsan secara maksimal. Tidak
merusak tanaman adalah hal yang minimal, tapi menanam pohon dan merawatnya bukti ihsan maksimal. Kalau tidak bisa membersihkan. Jangan mengotori, kalau tidak bisa menanam dan menyiram jangan menebang dan merusakmerusak,” urainya, panjang lebar.

Menurut Prof Muammar bahwa alam ini adalah jembatan untuk kesalamatan akhirat sebagaimana terdapat pada Qur’an Surat Al-Qashahsh ayat 77: Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah SWT tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan“.


Karena itu, lanjut dia, kita dituntut mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bumi dan segala isinya disiapkan untuk manusia sebagai pengelolanya, sebagaimana dalam Qur’an Surat Hud ayat 61 : Artinya: “Dia telah hidupkan kamu dari bumi (tanah) dan mempersilahkan kamu untuk memakmurkannya“.

Dalam memakmurkan dan memanfaatkan alam ini, seperti dinukil Prof Muammar bahwa Prof KH Ali Yafie (almarhum) pernah menyatakan perlunya sifat zuhud dalam menjaga bumi. Sikap berlebih-lebihan dalam mengeksploitasi alam adalah perilaku israf dan tabzir yang disenangi oleh setan.

Jangankan dalam bermuamalah, dalam beribadah pun sifat itu dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu anhu dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim; Artinya: “Rasulullah ketika mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud.

Dari riwayat yang sudah digambar bahwa Nabi tidak boros dalam menggunakan air. Ketika Nabi berwudhu diperkirakan hanya menggunakan setengah liter. Dan, ketika mandi pun hanya menggunakan sekitar lima liter air. Sikap spiritual dalam mengelola alam untuk kemaslahatan manusia sebagai tujuan hadirnya Syariah agar tidak menimbulkan kerusakan. Karena itu dalam mengelola alam diperlukan Ekologi Spiritual yakni berinteraksi dengan lingkungan, dengan ‘menghadirkanTuhan dalam setiap aspek kegiatan.

Dalam konteks syariah, menjaga lingkungan dapat dimasukkan sebagai bagian dari tujuan hadirnya syariah Islam ditengah manusia. Tujuan utama kehadiran syariah Islam itu biasa diistilahkan dengan Maqashid Syariah, yakni menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan dan menjaga harta benda.

Kemaslahatan dunia dan akhirat bersumber pada Maqashid Syariah tersebut, diurut secara sistematis menurut skala prioritasnya. Dimulai dari agama karena tanpa agama, tidak ada optimisme dan pengharapan balasan atas amalan yang dilakukan. Dengan norma – norma agama cara hidup manusia akan berbeda dengan kehidupan binatang. Menjaga kehidupan, karena tanpa kehidupan tidak ada penganut agama. Adalah perintah Tuhan agar tidak menempuh jalan pintas dengan jalan apa pun untuk mengakhiri hidup. Keharusan menjaga akal, sebab tanpa akal hidup manusia tidak punya nilai dan arti. Akhirnya juga tidak mampu menjalankan agama secara benar. Wajib memelihara keturunan, karena dengan itu manusia tetap lestari secara alami dan sah sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan yang terakhir dengan menjaga harta, manusia bisa menikmati hidup di dunia. © RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Seribu Paket Cepat Ludes, KOEPAJA INDONESIA Bagikan Takjil di Jalan Raya Ragunan

Redaksi Posberitakota

Rayakan 1 Muharam 1440 H, KETUA MASJID AL-FURQAN Minta Umat Islam Perkuat Persaudaraan

Redaksi Posberitakota

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, RELASI Guru – Murid

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang