SURABAYA (POSBERITAKOTA) – Mensikapi terkait pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra mengungkap adanya manuver yang tidak lazim, terutama di dalam proses pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (Capres/Cawapres), bikin Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ikut angkat bicara.
Dalam pandangan LaNyalla bahwa hal itu jelas-jelas menunjukkan Indonesia semakin krisis negarawan. Kenapa? Karena semua lembaga kini sudah berpolitik praktis. Bahkan, termasuk Hakim Konstitusi.
“Saya melihatnya bahwa pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra itu, menunjukkan bahwa MK sebagai the guardian of constitution, sudah tercemar tradisi politik. Nah, itu kan tentunya sudah sangat buruk bagi Indonesia,” kritik LaNyalla dalam pernyataannya Selasa (17/10/2023) kemarin di Surabaya.
Ditambahkan LaNyalla bahwa sejak Indonesia menganut sistem liberal, yakni dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dan dominasi partai politik (Parpol) sebagai pemegang kedaulatan, justru bikin negeri ini semakin kehilangan jati diri serta nilai-nilai adab, etika dan moral.
“Jadi jika negara yang menganut liberalisme dan terseret ke neoliberal serta ekonomi yang kapitalistik, pasti ditandai dengan kemenangan materialisme atas idealisme. Nah, hal itu sudah prinsip. Sehingga perilaku politik Indonesia semakin tidak punya malu dan mendapat pemakluman dari elit. Sementara rakyat terus diberi pertunjukkan dan contoh buruk seperti itu,” beber LaNyalla, menambahkan.
Ditambahkan tokoh yang tak pernah pupus memperjuangkan agar Indonesia kembali ke sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa itu, juga menyinggung soal batas usia Capres dan Cawapres. Ia bilang bahwa Indonesia negara besar yang lahir dari peradaban besar kerajaan dan kesultanan Nusantara. Tentu tidak bisa disamakan dengan negara-negara kecil di Eropa atau Skandinavia.
Karena itu pula, menurut LaNyalla lebih jauh bahwa Indonesia membutuhkan pimpinan atau orang yang matang dan dewasa secara usia. “Karena negara ini berdasarkan Ketuhanan, maka tradisi di dalam pemahaman agama, bahwa usia matang seseorang itu juga harus menjadi rujukan. Jangan ditabrak, hantam kromo begitu saja. Ini bukan negara suka-suka dan ujicoba,” ucapnya.
Oleh karenanya, sebut LaNyalla, sudah saatnya Indonesia menyadari kalau sistem saat ini semakin kebablasan dan semakin meninggalkan Pancasila. Makanya, harus kembali ke falsafah dasar negara ini. “Sebab, sistem yang dirumuskan pendiri bangsa, bukanlaj sistem Orde Baru. Tetapi, sistem demokrasi Pancasila murni yang belum pernah diterapkan secara benar,” katanya.
Seperti dalam pernyataan secara terbuka, Hakim Konstiruai Saldi Isra mengakui ada peristiwa aneh dalam putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang gugatan batas usia Capres-Cawapres.
“Tentu, sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” tegas Saldi saat membacakan dissenting opinion dalam putusan tersebut.
Bahkan, Saldi menambahkan bahwa di dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. “Hasilnya, enam Hakim Konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang,” terang Saldi.
Meski begitu dalam langkah selanjutnya, yakni dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.
Terasa aneh manakala Mahkamah Konstitusi mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden atau Capres-Cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah. © [RED/DIDI R/EDITOR : GOES]