OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN MA
DALAM perspektif syariah, shalat sering didefinisikan sebagai perbuatan dan perkataan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan ketentuan syariah. Shalat adalah fardhu ada lima, yaitu Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya dan Subuh.
Shalat-shalat tersebut merupakan fardhu ‘ain dalam arti tidak bisa diwakilkan, bagi orang-orang yang sudah memenuhi syarat (syarat wajib), yaitu beragama Islam, akil-baligh, bersih dari hadas besar dan kecil, yakni sudah berwudhu atau bertayamum dan sudah mandi bagi yang wajib mandi, seperti junub, najis, haidh dan nifas, dilakukan dalam keadaan sada, menutup aurat, sudah masuk waktu shalat, menghadap ke arah kiblat, dan sampai da’wah Nabi kepadanya.
Shalat, menurut Imam Syafi, mazhab paling berpengaruh di Asia Tenggara, ada 13, yaitu, niat, berdiri tegak (bagi yang mampu), takbir ihram, membaca surah al-Fatihah, rukuk, Iktidal, sujud, duduk di antara dua sujud, duduk tahiyat awal dan akhir, membaca tahiyat, shalawat kepada Nabi, salam, dan tertib.
Hal-hal yang membatalkan shalat juga dibahas secara mendalam, seperti batal wudhu, makan dan minum dengan sengaja walau hanya sedikit, terbuka aurat, menggerakkan anggota badan berturut-turut tiga kali, badan, pakaian atau tempat shalat terkontaminasi najis, tersingkap aurat, ketawa terbahak-bahak, bercakap-cakap dengan sengaja, berubah niat, meninggalkan rukun shalat dan mendahului imam lebih dari dua rukun shalat.
Sebelum membahas shalat dengan seluruh aspeknya secara mikro, kitab-kitab fikih mengawali pembahasannya dengan masalah taharah yang mencakup wudhu, tayamum dan mandi. Pembahasan taharah ini juga menyita halaman yang cukup tebal karena dibahas segala aspek taharah meliputi rukun syarat taharah dan alat-alat penyuci yang bisa digunakan untuk membersihkan dan menyucikan.
Dalam kitab-kitab tafsir, khususnya tafsir mu’tabarah di kalangan Suni, ayat-ayat tentang shalat dan taharah dibahas secara panjang lebar. Karenanya, wajar kalau di dalam kitab-kitab fikih juga porsi shalat dan taharah dibahas hampir separuh dari total halaman yang tersedia di dalam kitab-kitab fikih. Sedikit sekali di antara kitab-kitab yang ada membahas aspek thariqah dan apalagi hakikat shalat dan taharah. Hanya ulama-ulama Syiah kelihatannya rajin membahas soal-soal hakikat ibadah, termasuk shalat dan taharah.
Sayang sekali ayat-ayat yang menyinggung hikmah-hikmah spiritual di balik ayat-ayat shalat dan taharah tidak dibahas secara mendalam. Mungkin para ulamanya memahami secara eksoterik, bahkan mengamalkannya. Namun, mereka sepertinya agak khawatir membahas secara terbuka ayat-ayat Al-Quran secara esoterik terhadap publik.
Pembahasan shalat dalam perspektif syariah, khususnya dalam dunia Suni, sebagaimana dapat dilihat di dalam kitab – kitab fikih Suni, seperti kitab Fath al-Mu’in karangan Zaynuddin al-Malibari dan kitab Khasyiyah lanah al-Thalibin karya Abu Bakar al-Syatha, yang merupakan kitab wajib pondok pesantren wata’ala di Indonesia. Cenderung shalat itu kering dan terkesan terlalu
formal, mekanis, cenderung lebih eksoterik sehingga terkesan
seolah menenggelamkan hakikat dan tujuan shalat itu sendiri sebagai media pendekatan diri secara personal kepada Allah subhanahu wata’ala.
Agak berbeda dengan ulama-ulama Syiah yang lebih cenderung menekankan aspek esoterik shalat di dalam pembahasannya sehingga banyak diantara ayat dan hadis shalat ditakwil sedemikian jauh untuk menemukan dan menggapai makna batin shalat itu.al-syari’ah Lihat, misalnya, kitab Tafsir al-Muhith al-Adham wa al-Bahr al-Khadhamiy fi Ta’wil, Kitab Alla al-Aziz al-Muhakkam, khususnya jilid IV yang membahas hakikat dan makna batin shalat yang sedemikian jauh.
Hanya Imam al-Ghazali dalam dunia Suni yang agak berani membahas secara mendalam dimensi-dimensi ‘irfan terhadap ibadah-ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, selain membahas aspek eksoterik sejumlah ajaran Islam, seperti taharah, shalat, puasa, zakat, dan haji, al-Ghazali juga melengkapi pembahasannya dengan aspek hikmah dan rahasia suatu ibadah yang diistilahkannya dengan al-asrar al-syari’ah.
Dalam kitab ini, Imam al-Ghazali selalu memulai dengan kata asrar pada setiap topik (madhu’) bahasannya, seperti kitab Asrar al-Thaharah, kitab Asrar al-Shalah wa Muhimmatuha, kitab Asrar al-Zakah, kitab Asrar al-Shaum, kitab Asrar al-Haj dan seterusnya. Idealnya, pembahasan setiap ajaran syariah seperti shalat selalu dikaji dalam dua aspek secara integrated, yaitu dikaji dalam aspek eksoterik dan secara esoterik. Kajian eksoterik Islam menampilkan aspek syi’ar (scope) dan kajian esoterik menampilkan aspek kedalaman makna (force) dari ajaran Islam.
Inilah sesungguhnya yang diidealkan Sykeh Ibn ‘Athaillah dalam ungkapannya Man tafaqqaha walam yatashawwafa faqad tafassaka, waman tashawwafa walam yatafaqqaha faqad tazandaqah, waman jama’a bainahuma faqad tahaqqaqah (Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik (rusak), barang siapa yang bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindiq (sesat), dan barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia mencapai kebenaran). □ [***/goes]