JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Dalam kasus atau perkara dugaan korupsi pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo, terdakwa Irwan Hermawan diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi pelaku atau justice collaborator. Karenanya, sikap dan perlakukan jaksa dinilai setengah hati, akibat tuntutan yang diajukan masih tergolong tinggi.
Terdakwa Irwan yang merupakan Komisaris PT Solitech Media Sinergy tersebut, ternyata masih dituntut cukup tinggi oleh JPU, yakni 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta serta uang pengganti senilai Rp 7 miliar.
Bahkan JPU meminta apabila denda tidak dibayar, maka Irwan harus menjalani hukuman tambahan selama 3 bulan penjara. Termasuk jika uang pengganti sebesar Rp 7 miliar juga tidak dibayar, berakibat harta bendanya bakal disita dan dilelang untuk memenuhinya.
Mengomentari hal tersebut di atas, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus, mengatakan bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No 4 Tahun 2011, justice collaborator bisa mendapat hukuman pidana percobaan bersyarat khusus atau hukuman pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah. Sebab, SEMA No 4 Tahun 2011 tersebut adalah bentuk apresiasi terhadap saksi pelaku.
“Apabila merujuk pada SEMA No 4 Tahun 2011, justru tuntutan Irwan seharusnya diringankan JPU. Kenapa? Hal itu sangat penting supaya Irwan semakin nyaring untuk membongkar skandal korupsi Rp 8 triliun tersebut,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya kepada media, Minggu (5/11/2023).
Kembali diutarakan Iskandar lebih lanjut, JPU sepatutnya mengapresiasi Irwan yang berani menjadi justice collaborator, karena skandal korupsi tersebut banyak melibatkan pihak elite di negeri ini.
“Saya melihatnya peran justice collaborator Irwan di sini, justru luar biasa, meski terbilang terlambat. Jadi, kenapa tidak sejak awal saat kasus ini terkuak? Namun paling tidak, dari pengakuan terdakwa Irwan, dari hanya 6 orang tersangka yang berhasil disidik Kejaksaan Agung, kini sudah bertambah menjadi 10 orang tersangka lain,” ucap dia, lagi.
Pada sisi lain, sebut Iskandar, sayangnya, JPU belum maksimal memanfaatkan justice collaborator dari terdakwa Irwan di dalam persidangan untuk lebih mendalami kasus-kasus yang sedang disidangkan.
“Tentu idealnya, kesediaan Irwan menjadi justice collaborator yang juga sudah diaminkan oleh Majelis Hakim, dikelola sedemikian rupa oleh Kejagung,” imbuhnya.
Namun demikian, kata Iskandar, efektivitas posisi baru Irwan sebagai saksi pelaku bisa menyentuh hal-hal yang sempat terlewatkan pada penyidikan dan persidangan sebelum penuntutan.
Seperti diketahui bahwa Irwan Hermawan merupakan terdakwa yang berperan menutup kasus penyelidikan dugaan korupsi proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G di Kejaksaan Agung. Irwan bekerja bersama orang kepercayaannya Windi Purnama mengumpulkan uang sesuai perintah eks Direktur Utama Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anang Achmad Latif.
Lalu, Irwan dinilai terbukti melanggar dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan dakwaan kedua primer Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Irwan dan Windi mengumpulkan uang sebanyak kurang lebih Rp 243 miliar dari sejumlah perusahaan yang terlibat dalam proyek BTS 4G. Uang-uang itu diberikan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo atau Dito Ariotedjo senilai Rp 27 miliar, staf ahli Wakil Ketua Komisi I DPR dari Partai Gerindra Sugiono, Nistra Yohan senilai Rp 70 miliar.
Bahkan uang itu juga diberikan kepada tim sukses Joko Widodo dalam kampanye Pilpres 2014, Windu Aji Sutanto sebesar Rp 75 miliar, uang untuk BPK yang diberikan kepada Sadikin senilai Rp 40 miliar, terdakwa Galumbang Menak Simanjuntak Rp 43,5 miliar dan Direktur PT Pertamina, Erry Sugiharto senilai Rp 10 miliar.
Malah uang-uang tersebut diberikan kepada para pihak untuk mengamankan kasus agar tidak diselidiki oleh Kejaksaan Agung. © [RED/AGUS SANTOSA]