OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
HAMPIR semua agama menyatakan manusia adalah makhluk paling istimewa. Di dalam Al-Qur’an, manusia dinyatakan sebagai ciptaan paling istimewa (ahsan taqwim/ QS. al-Tin (95): 4). Keistimewaan manusia tidak dibedakan berdasarkan etnis, agama atau kepercayaan. Siapa pun yang merasa anak cucu Adam wajib dimuliakan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam”. (QS. al-Isra (17): 70).
Manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan mengemban amanah besar dari Allah subhanahuwata’ala: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. al-Ahdzab (33): 72).
Atas kelebihan yang dimiliki, menyembah-KU manusia kemudian dilantik sebagai khalifah di bumi: “Sesungguhnya AKU hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS.al-Baqarah (2): 30). Di samping sebagai khalifah, manusia juga sebagai hamba: “Dan, AKU tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-KU“ (QS. al-Zariyat (51): 56).
Yang paling penting ialah satu-satunya makhluk yang diajarkan langsung keseluruhan nama-nama-NYA: “Dan, Dia mengajarkan kepada Adam nama – nama seluruhnya” (QS. al- Baqarah (2): 31).
Manusia satu-satunya makhluk Tuhan yang teomorfis, yang di dalam dirinya tergabung dua dimensi yaitu dimensi Lahut (QS. al-Hijr (15): 29) dan Nasut (QS. al-Naml (27): 82). Di dalam dirinya juga menyatu dua kekuatan besar, yaitu kekuatan maskulin (quwwah jalaliyyah) dan kekuatan feminin (quwwah jamaliyyah), sebuah kombinasi yang tidak dimiliki makhluk lain.
Kombinasi inilah yang memberi kemungkinan sekaligus kemampuan manusia untuk memikul kapasitas sebagai khalifah bumi (khalaif al-ardh). Namun, menurut SH Nasr, kombinasi ini juga menjadikan manusia sebagai makhluk eksistensialisme, yakni makhluk yang bisa turun-naik martabatnya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Manusia bisa menjadi makhluk termulia (ahsan taqwim/QS. al-Tin (95): 4), tetapi manusia juga bisa menjadi makhluk paling hina (asfala safilin/QS. al-Tin (95):5; QS. al-A’raf (7):179).
Makhluk lain, tidak terkecuali malaikat, tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki quwwah jalaliyyah. Mereka hanya memiliki quwwah jamaliyyah. Malaikat dan makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih), tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih).
Sebaliknya manusia, dengan kombinasi kedua kekuatan yang dimilikinya, mampu mencapai maqam “sintesis ketuhanan” (al-jam’iyyat al- ilahiyyah). Manusia mampu menampilkan sifat-sifat jalaliyyah di samping sifat-sifat jamaliyyah Tuhan. Komposisi masculine– feminine harus selalu terukur agar tidak berat sebelah. Manusia mampu mencapai ma’rifah tingkat lebih tinggi yang dalam ilmu tasawuf sering disebut “Maqam Adna” (QS. al-Najm (53): 9). © [*** Bersambung/goes]